Editor : Totok Waluyo | Reportase : Totok Waluyo
Denpasar, Porosinformatif – Konsep kematian yang diinginkan (Euthanasia) merupakan praktik medis yang mengalami dilematis tersendiri di Indonesia. Apakah dokter dapat melakukan tindakan euthanasia? Apakah tindakan medis itu tidak dianggap sebagai tindak pidana? Apakah Indonesia memiliki undang-undang yang mengatur tindakan euthanasia tersebut?
Pertanyaan-pertanyaan dan kejadian dalam kehidupan bermasyarakat inilah, mendasari DR. I Made Wahyu Chandra Satriana, S.H.,M.H mengkaji dan meneliti lebih dalam dan dituangkan dalam buku yang baru dirilisnya.
Buku yang juga bersumber dari sebagian laporan dalam rangka disertasi program Doktor (S3) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Udayana tahun 2019 lalu.
Penulis yang juga sekaligus Dosen di Fakultas Hukum Universitas Dwijendra Denpasar ini memaparkan, semua aspek kehidupan manusia itu dibalut dari norma-norma atau aspek hukum.
“Itu sudah terjadi dari kandungan, dia sudah dilindungi oleh hukum. Faktor itulah yang menyebabkan tidak boleh adanya Aborsi,” kata Dosen murah senyum kepada Porosinformatif di Kampus Undwi Denpasar Jl. Kamboja 11A, Sabtu (9/1).
Dari situ fase-fase kehidupan normal menurutnya adalah dari kandungan, bayi, anak-anak, remaja, dewasa, orangtua dan akhirnya meninggal.
Dijelaskan lebih mendalam, bahwa didalam perjalanan kehidupan itu, ada suatu kondisi dimana seseorang tidak mengalami fase normal seperti itu.
“Mungkin dia pada saat remaja atau dewasa menderita suatu penyakit, namun menurut kaca mata medis sudah tidak bisa disembuhkan. Disitu muncul suatu dilema. Mulai dari diilema hukum, dilema praktik medis, dan masyarakat terutama keluarga,” terangnya.
Dirinya menambahkan, Apa yang harus dilakukan si keluarga pasien ini. Dia tergeletak lemas. Tidak berdaya menghadapi penyakitnya. Pihak medispun juga sudah menyerah.
“Karena pihak medispun juga diatur oleh hukum yaitu kode etik profesi. Itu menyebutkan bahwa dokter tidak akan memberikan suatu pertolongan apabila tidak dibutuhkan lagi oleh pasien atau perlakuan medis yang dilakukannya sudah dirasa tidak berdampak lagi,” jelasnya.
Kembali kepada hakikat manusia yang nanti pasti akan meninggal. Namun dengan cara yang berbeda.
“Apa tega kita melihat dan membiarkan saudara kita mengalami penderitaan. Nah disinilah hak asasi manusia kita muncul, berdasarkan Pancasila sila kedua yaitu kemanusiaan yang adil dan beradzab. Apakah kita merupakan manusia yang beradzab melihat kondisi pasien dan keluarga yang mengalami ke dilemaan seperti ini,” tegasnya.
Untuk itulah dirinya menulis buku “Pembaharuan Hukum Pidana, Suatu Kajian Konsep Kematian yang Diinginkan (Euthanasia)” yang dicetak dan diterbitkan oleh Udayana University Press pada akhir tahun 2020.
Buku yang mengupas dan mendiskusikan lebih tajam dari perspektif Agama, Filsafat dan Hukum Pidana.
“Disitu pembaharuan pidana hukum di Negara kita. Bukannya melegalkan tetapi kita mencari suatu upaya perbaikan. Baik pasien, keluarga pasien, tenaga medis dan hukum,” pungkasnya.(*)