Poros Opini:
Dr. Ir. Gede Sedana, M.Sc.MMA
Rektor Dwijendra University
Ketua HKTI Buleleng
Wakil Ketua Perhepi Bali
Denpasar, Porosinformatif – Setiap tahun sering terjadi perdebatan saat pemerintah akan melakukan impor beras. Silang pendapat tidak hanya di kalangan politisi, masyarakat, petani tetapi juga di antara menteri.
Menteri Perdagangan sangat meyakini bahwa impor beras memang perlu dilakukan, tetapi Menteri Pertanian mengungkapkan bahwa tidak perlu ada impor beras.
Tentunya mereka memiliki data tersendiri di dalam menghitung kondisi perberasan di Indonesia sehingga masing-masing memiliki kesimpulan yang berbeda.
Lalu, apakah data mereka berbeda, dan mengapa terjadi perbedaan jumlah produksi yang ada di Indonesia.
Jika karena data produksi dan konsumsinya berbeda, maka upaya awal yang harus dilakukan adalah menyamakan angka/data yang pasti bagi mereka termasuk seluruh kementerian dan lembaga yang ada.
Misalnya Kementerian Pertanian menyiapkan data riil produksi termasuk prediksinya beberapa bulan ke depan atau pada musim panen pada tahun 2021.
Bulogpun agar memberikan informasi ketersediaan beras yang ada saat ini sehingga dapat diperhitungan secara total produksi beras.
Ini berarti diperlukan adanya bank data terhadap perberasan di Indonesia. Oleh karena itu, satu hal yang sangat perlu dilakukan adalah ketersediaan data mengenai luas areal, luas tanam, jadwal tanam, produksi padi dan beras, serta konsumsi setiap bulan dalam satu tahun dan pada setiap kabupaten dan provinsi.
Adanya kepastian dan kesamaan data/informasi akan bermanfaat untuk perhitungan ketersediaan beras dan mengambil kebijakan impor.
Dalam upaya untuk mengatasi impor yang sangat sering dilakukan oleh pemerintah, maka salah satu cara yang harus menjadi perhatian adalah peningkatan produksi padi di tingkat petani selaku produsen.
Sementara itu, di tingkat konsumen agar semakin diupayakan edukasi untuk melakukan diversifikasi pangan. Artinya bahwa konsumen tidak lagi bergantung pada beras dan produk olahnya.
Peningkatan produksi padi dalam situasi Pandemi Covid-19, pemerintah agar memberikan stimulus bagi para petani yang mengusahakan tanaman padi, terutama pada pembiayaan sarana produksi (benih, pupuk dan pestisida, termasuk upah tenaga kerja).
Stimulus ini bisa melalui kebijakan subsidi sarana produksi yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi berproduksi sehingga pendapatan petani dapat terdongkrak.
Secara teknis, penelitian tentang benih yang memiliki produktivitas tinggi, misalnya 15 ton/ha harus segera dilakukan sehingga produksi dalam setiap musim panen semakin tinggi.
Tentunya benih unggul yang tersedia ini harus disertai dan didukung oleh ketersediaan air irigasi untuk menjamin pertumbuhan tanaman dan pola tanam yang telah ditetapkan.
Selain itu, pemberdayaan dan pendampingan petani juga agar terus dilakukan semakin intensif untuk menjamin penerapan teknologi budidaya padi yang semakin baik guna mewujudkan peningkatan produksi.
Secara ekonomis, pemerintah agar semakin memperkuat pengelolaan bisnis perberasan secara inklusif yang mengintegrasikan seluruh aktor pasar dari hulu sampai hilir.
Dalam bisnis inklusif ini didorong agar petani melalui kelompoknya memperoleh keuntungan ekonomis secara layak yang sekaligus akan menjadi insentif bagi mereka untuk semakin menekuni usaha taninya.
Pemerintah sebagai regulator dan fasilitator memiliki peran di dalam membangun dan memperlancar bisnis inklusif perberasan di setiap kabupaten dan provinsi.
Keterkaitan aktor pasar antar kabupaten dan provinsi juga sangat dibutuhkan di dalam memperkuat rantai pasok beras dan memberikan nilai tambah bagi petani/kelompok petani, dan pelaku usaha bisnis beras.(*)