Revitalisasi Macapat Malangan Tajuk Kegiatan Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur

Editor : Totok Waluyo | Reportase : Didik Harmadi

Malang, Porosinformatif – Perkuat karakter budaya bagi kalangan anak-anak muda, Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur adakan kegiatan bertema ‘Revitalisasi Macapat Malangan’ bertempat di Padepokan Sapta Wikrama, Sidomukti Kepanjen, Malang.

Acara yang akan dilaksanakan selama 4 hari dari tanggal 5 April hingga 9 April 2021 ini, bertujuan untuk menambah wawasan ilmu di bidang kebudayaan kepada anak-anak millenial.

Bagaimanapun juga Budaya seyogyanya memberikan ruang bagi generasi muda seluas-luasnya terutama anak-anak yang akan menjadi penerus kebudayaan.

Salah satunya untuk berkreasi sastra agar tetap menjadi bagian rutinitas kehidupan masyarakat. Hal ini bukan sekedar program atau seremonial masa lampau.

Untuk itu harus dibangun lewat ekosistem kebudayaan agar tidak berada dalam kondisi stagnan atau ditinggalkan karena beda ekspresi dan beda emosi.

Kepala Balai Bahasa Jawa Timur Dr. Asrif, M.Hum dalam pembukaan kegiatan Revitalisasi Macapat Malangan mengatakan, pada masa lalu, kita tidak memiliki pilihan untuk memilih hiburan.

Sehingga masyarakat sangat kuat dalam kehidupan berkebudayaan. Tetapi pada masa sekarang, pilihan mereka untuk meninggalkan budaya menjadi sangat kuat.

“Kondisi ini diperparah dengan semakin berkurangnya perhatian orang tua pada generasi muda terutama anak-anak, dalam memberi dukungan pada kebudayaan,” tegasnya.

Dijelaskannya, orangtua lebih nyaman meminjamkan gawai pada anak-anaknya dan jarang mengajak belajar atau melakukan kegiatan apresiasi kebudayaan.

“Jadi permasalahannya berada di rumah kita bukan tempat tinggal,” urainya.

Asrif pun menilai bahwa hal ini merupakan permasalahan serius kebudayaan yang harus menjadi perhatian semua pihak. Seperti apakah kira-kira kebudayaan kita di masa depan.

Jadi dengan me-revitalisasi kebudayaan merupakan upaya mendudukkan kembali generasi muda terutama anak-anak sebagai pewaris dan pelanjut dari kebudayaan, Jawa maupun Indonesia.

Namun hal ini tidak mudah untuk dilakukan. Menurutnya dukungan semua pihak sangat diperlukan.

“Seperti para narasumber, komunitas budaya, Balai Bahasa, dan birokrat bahkan orangtua untuk bersinergi dalam satu kesatuan,” bebernya seraya kembali menekankan bahwa implementasinya tidak hanya cukup bergerak dan bertumpu antar institusi dan masyarakat, tetapi juga harus dikuatkan pada kesatuan ekosistem agar bergerak bersama.

“Sebab kalau tidak, hanya meninggalkan memori bahwa pernah ada macapat yang sudah lama kita tinggalkan,” pungkasnya.

Sementara di tempat yang sama, Cak Marsam sebagai narasumber dari Komunitas Lerok Anyar Malang mengatakan, macapat itu adalah salah satu genre tembang Jawa.

Dimana macapat di tiap wilayah mempunyai gaya yang berbeda. Perbedaan yang signifikan terdapat pada cengkok pengucapan.

Gaya Malangan selalu dimulai dari tembang Asmaradana tanpa iringan musik. Tetapi cengkok Jawa Tengah selalu dimulai dari tembang Mijil yang berarti kelahiran sebagai orientasi siklus kehidupan manusia dan diakhiri tembang Pucung.

“Fungsi dari Tembang macapat untuk kegiatan kebudayaan salah satunya adalah tingkepan,” terang Marsam.

Tingkepan adalah bagian dari upacara tujuh bulanan perempuan hamil. Sebagai kelengkapan upacara tingkepan di senandungkan tembang macapat yang dilakukan oleh Dalang Macapat.

Lebih dalam Marsam menerangkan, secara makna tembang Macapat Malangan yang dimulai dengan tembang Asmaradana memiliki arti kehadiran cinta kasih.

“Juga bisa dimaknai sebagai hubungan spiritual manusia dengan Tuhan Yang Maha Kuasa dalam tatanan makro dan mikro kosmos,” imbuhnya seraya mengatakan bahwasanya untuk tembang intinya dengan melafazkan Surat Yusuf yang bisa dikatakan sebagai doa agar kehadiran jabang bayi ke dunia sebagai manusia yang utuh dan sempurna dalam keberkahan.

Dulu Macapat Malangan disenandungkan untuk kegiatan melek-an dalam upacara tingkepan hampir di seluruh wilayah Kota Malang.

Namun karena mengalami penurunan intesitas dan frekuensinya, sekarang hanya wilayah Poncokusumo, Tumpang, Wajak, dan Pakisaji Malang yang masih intens ber-macapat.

Balok Safarudin Ketua Kegiatan Revitalisasi Macapat Malangan dari Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur turut berpendapat bahwa revitalisasi ini sangat perlu dilakukan.

Dalam penjelasannya, kehadiran kemajuan peradaban berupa teknologi dan informasi yang berdampak pada perubahan perilaku dan gaya hidup diantaranya dengan hadirnya budaya instan, individualitas, dan reifikasi inilah yang mendasari Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur guna melakukan konservasi macapat Malangan.

“Jadi dengan begini kita bisa melakukan pengenalan bentuk dan gaya kekinian dalam ber-macapat,” ujarnya.

Bentuk interdisipliner seni ini dilakukan agar memunculkan kebaharuan, alternatif maupun genre.

“Namun dengan tidak meninggalkan macapat Malangan sebagai substansinya,” jelasnya.

Ditanya soal peserta kegiatan Revitalisasi Sastra: Bimtek dan Festival Macapat Malangan, dirinya menjawab kegiatan dilakukan berbasis komunitas budaya.

Seperti dari Padepokan Sapta Wikrama, Komunitas Lerok Anyar Malang, komunitas Teater Sampar Malang, Rumah musik Arbanat, Komunitas Cinta Tanah Air, dan Paguyuban Kusuma Jati.

Ia pun mengharapkan agar Macapat Malangan bisa lebih berkembang dan kreatif secara konsepsi, teknis, visualisasi tidak selalu dibawakan dalam pola-pola konvensional seperti pada umumnya.

“Dan kebetulan dari berbagai komunitas yang mengikuti kegiatan ini, mereka memiliki potensi yang beragam di bidang teater, musik etnik, ludruk, tari, dan wayang yang memungkinkan terbangunnya gagasan estetik yang lebih berkembang sehingga relevan dengan bentuk dan model kekinian,” pungkasnya.(*)