Keliru Dalam Membuat Berita, Bisakah Wartawan di Pidanakan?

Penulis: Buang Supeno, S.H.,M.H

Malang, Porosinformatif – Dalam dunia pers ada istilah yang sering digunakan yaitu Hak Jawab dan Hak Koreksi. Lantas apa sih manfaat hak-hak tersebut dalam korelasinya dengan dunia ke-Wartawanan.

Pada dasarnya, Wartawan Indonesia harus segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.

Hak jawab dan hak koreksi merupakan suatu langkah yang dapat diambil oleh pembaca
karya Pers Nasional apabila terjadi kekeliruan pemberitaan, utamanya yang menimbulkan kerugian bagi pihak tertentu. Bila hak jawab ini tidak dilayani oleh pers, maka perusahaan pers dapat dipidana.

Hal ini tertuang dalam Pasal 10 Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik sebagai Peraturan Dewan Pers.

Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers adalah lex specialis (hukum yang lebih khusus) terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan juga terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Sehingga jika terdapat suatu permasalahan yang berkaitan dengan pemberitaan pers, peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah UU Pers. Terhadap hal-hal yang tidak diatur di dalam UU Pers, baru bisa merujuk kepada ketentuan-ketentuan di dalam KUHPer atau KUHP.

Penegasan mengenai hal tersebut oleh Hinca IP Panjaitan dan Amir Effendi Siregar dijelaskan dalam buku yang berjudul Menegakkan Kemerdekaan Pers: “1001 Alasan, Undang-Undang Pers Lex Specialis, Menyelesaikan Permasalahan Akibat Pemberitaan Pers.

Mereka menulis bahwa UU Pers adalah ketentuan khusus yang mengatur tentang pelaksanaan kegiatan jurnalistik: mulai dari mencari, memilah, dan memberitakannya sampai ke mekanisme penyelesaian permasalahan yang timbul akibat pemberitaan pers (hal. xvii).

Oleh karena itu, menurut mereka, dalam menjalankan kegiatan jurnalistiknya, Wartawan tidak dapat dihukum dengan menggunakan KUHP sebagai suatu ketentuan yang umum (lex generali).

Dalam hal ini berlakulah asas yang universal berlaku, lex specialis derogate legi generali.

Hinca dan Amir dalam buku tersebut juga menjelaskan bahwa mekanisme penyelesaian permasalahan akibat pemberitaan pers adalah Pertama-tama dengan menggunakan pemenuhan secara sempurna pelayanan Hak Jawab dan Hak Koreksi.

Orang atau sekelompok orang yang merasa dirugikan nama baiknya akibat pemberitaan itu harus memberikan data atau fakta yang dimaksudkan sebagai bukti bantahan atau sanggahan pemberitaan itu tidak benar.

Selain itu, pelaksanaan Hak Jawab dan Hak Koreksi dapat dilakukan juga ke Dewan
Pers (Pasal 15 ayat [2] huruf d UU Pers).

Dikatakan bahwa salah satu fungsi Dewan
Pers adalah memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan
masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.

Permasalahan akibat pemberitaan pers dapat juga diajukan gugatan perdata ke pengadilan atau dilaporkan kepada polisi.

Namun demikian, karena mekanisme penyelesaian permasalahan akibat pemberitaan pers diatur secara khusus di UU Pers.

Pada praktiknya, penggunaan hak jawab ini dinilai berfungsi untuk menyelesaikan
permasalahan secara damai, sebagaimana terdapat dalam artikel Hak Jawab Dimuat,
Hendropriyono Tak Akan Tuntut The Jakarta Post.

Selain itu, Kode Etik Jurnalistik juga menyebutkan bahwa penilaian akhir atas
pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers.

Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.

Apabila Hak Jawab dan Pengaduan ke Dewan Pers tidak juga membuahkan hasil, maka UU Pers juga mengatur ketentuan pidana dalam Pasal 5 jo. Pasal 18 ayat (2) UU Pers sebagai berikut:

Pasal 5:
(1) Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan
menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
(2) Pers wajib melayani Hak Jawab.
(3) Pers wajib melayani Hak Koreksi

Pasal 18 ayat (2) UU Pers:
“Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal
13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500.000.000 (lima ratus juta
rupiah).”

Pada sisi lain, pihak yang dirugikan oleh pemberitaan pers tetap punya hak untuk
mengajukan masalahnya ke pengadilan, secara perdata atau pidana.

Dalam perkara pidana menyangkut pers, hakim yang memeriksa perkara tersebut harus merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2008 tentang Meminta Keterangan Saksi Ahli.

Sebagaimana ditulis dalam artikel Aparat Penegak Hukum Diminta Merujuk pada SEMA No.13 Tahun 2008, dimana dalam penanganan/pemeriksaan perkara-perkara yang terkait dengan delik pers, majelis Hakim hendaknya mendengar/meminta keterangan saksi ahli dari Dewan Pers, karena merekalah yang lebih mengetahui seluk beluk pers tersebut secara teori dan praktek.(*)