Peranan Bank Indonesia terhadap Makroprudensial, Ini Penjelasan Deputi Kepala KPwBI Bali

Editor : Totok Waluyo | Reportase : Totok Waluyo

Denpasar, PorosinformatifMakroprudensial terdengar awam bagi masyarakat umumnya. Makroprudensial sendiri mempunyai tugas dan fungsi pokok terpenting dalam ruang lingkup kebijakan stabilisasi sistem keuangan yang berkecimpung di bidang perbankan, korporasi atau lembaga serta rumah tangga sebagai bagian terbawah dalam bidang perekonomian.

Melalui program capacity building media di Denpasar pada hari Kamis (20/5/2021), Deputi Kepala Kantor Perwakilan wilayah Bank Indonesia Bali Rizki Ernandhi Wimanda mengupas tuntas tentang pertumbuhan ekonomi dan makroprudensial di tengah pandemi Covid-19.

Mengawali sampaian materinya, Rizki kembali mengingatkan dan menyampaikan peranan Bank Indonesia sebagai bank sentral dengan tiga tugas utamanya seperti menjaga kebijakan moneter, kebijakan makroprudensial serta kebijakan sistem pembayaran.

Kenapa sih Bank Indonesia mengurusi makroprudensial ? Kan sudah ada OJK, sambung Rizki.

Istilah makroprudensial sedari tahun 1979 sudah digaungkan oleh BCBS (Basel Committee on Banking Supervision).

“Sama halnya dengan Bank of England, pada saat itu juga menggunakan istilah yang sama untuk membatasi pertumbuhan kredit,” katanya.

Hal-hal inilah yang tidak bisa dijangkau oleh mikroprudensial. Sehingga peranan makroprudensial dibutuhkan.

Iapun mengajak pada kesempatan kali ini untuk menyamakan persepsi terhadap makroprudensial.

Lebih lanjut, Rizki memaparkan adanya makroprudensial di bank sentral dalam hal ini Bank Indonesia, yaitu: bank sentral sebagai lender of the last resort (LoLR), sebagai otoritas moneter, sebagai otoritas sistem pembayaran, bank sentral memiliki kapasitas menganalisa kondisi makroekonomi serta memiliki network.

Berdasarkan informasi dari BI Institut, latar belakang adanya kebijakan makroprudensial berawal dari adanya krisis keuangan pada tahun 1997-1998.

“Dimana pada tahun ini, bidang perbankan mengalami kerugian yang besar bagi perekonomian dan menelan banyak biaya untuk pemulihannya,” jelas Rizki yang didampingi Ekonom Ahli GPIK KPwBI Bali, Donny H. Heatubun.

Adapun tujuan makroprudensial dikeluarkan oleh Bank Indonesia adalah berdasar PBI Nomor 16/11/PBI/2014, yaitu: untuk mencegah dan mengurangi resiko sistemik, mendorong fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas serta meningkatkan efisiensi sistem keuangan dan akses keuangan.

“Nah sekarang pertanyaannya, kenapa stabilitas sistem keuangan (SSK) harus ada ? agar bilamana terjadi guncangan krisis perekonomian, SSK ini bisa menjaga dari keterpurukan ekonomi,” terangnya seraya memberikan contoh perekonomian di masa pandemi, tidak adanya bank yang tutup.

Acara yang juga dihadiri Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana, Dr. I Gusti Wayan Murjana Yasa, S.E., M.Si. yang sekaligus sebagai pemateri dengan tema “Membangun Optimisme Pemulihan Ekonomi Bali”.(*)