Kurikulum Merdeka Belajar Perguruan Tinggi: Merdeka Dalam Tekanan

Welly Suryandoko
Mahasiswa S3 Teknologi Pendidikan, UNESA

Dunia pendidikan mengalami penyesuaian sangat drastis, mulai sebelum masa Covid-19 hingga memasuki satu tahun lebih Indonesia berada pada pandemi ini.

Masa sulit dilalui melalui ancaman virus dan tekanan perubahan kurikulum masif dan terencana. Hampir bersamaan kurikulum Merdeka Belajar mulai diterapkan pada Perguruan Tinggi dengan segala keterbatasan dan kegagapan karena menyesuaikan sistem kurikulum Merdeka Belajar.

Sebab baru saja kampus mulai terbiasa dengan pelaksanaan KKNI yang diterapkan pada Tahun 2015 akhirnya dirobohkan dengan tembok baru bernama Merdeka Belajar pada tahun 2020.

Seluruh Perguruan Tinggi di Indonesia ‘terengah-engah’ melaksanakan kurikulum di tengah iklim sosial karena mengalami dampak virus global.

Masyarakat kampus, mulai dari Pimpinan Perguruan Tinggi, pengelola tingkat fakultas, jurusan, dosen, tenaga kependidikan dan mahasiswa merasakan gejolak penataan kembali di tengah kemapanan kurikulum sebelumnya.

Kebutuhan kurikulum Merdeka Belajar ditata secara online mengedepankan keterlakasanaan kurikulum dalam waktu singkat.

Dalam Buku Hilda Taba Curriculum Development ‘Theory and Practice‘ (1962) menyampaikan langkah pengembangan kurikulum memerlukan dasar rasional, ilmiah, mendasar pada validitas dengan 7 tahap yang dilalui:

1) diagnosis kebutuhan,
2) formula pokok-pokok,
3) seleksi isi,
4) organisasi isi,
5) seleksi pengalaman belajar,
6) organisasi pengalaman belajar,
7) penentuan tentang apa yang harus dievaluasi dan cara untuk melakukannya.

Tahap awal dalam pengembangan kurikulum memerlukan analisis kebutuhan hingga penentuan evaluasi yang akan dilakukan.

Memerlukan waktu panjang dan penataan yang benar-benar akurat sesuai kebutuhan tantangan Pendidikan Tinggi di Indonesia dan kebutuhan mahasiswa diseluruh Indonesia.

Kurikulum Merdeka Belajar-Kampus Merdeka dimaknai dengan banyaknya aktivitas perkulihan dan nonperkuliahan di luar kampus, bahkan perkuliahan dilakukan pada perguruan tinggi lain.

Mulai dari pertukaran pelajar, membangun desa melalui KKN kurang lebih satu semester, magang atau praktik kerja di industri, studi proyek independen, asistensi mengajar disatuan pendidikan, kegiatan wirausaha, proyek kemanuasiaan dan penelitian.

Pemetaan program Merdeka Belajar pada Perguruan tinggi hampir sepenuhnya dilakukan di luar lingkungan kampus utama mahasiswa, menjadikan keintiman dengan dosen berkurang, konten utama perkuliahan menjadi kabur, mahasiswa menjadi sulit terkontrol, pengolahan sistem jaringan mengalami kesulitan dan penguasaan konten lemah.

Akhirnya muncul stigma masyarakat dalam setiap pergantian Menteri terjadi pula pergantian kurikulum.

Pola kurikulum dengan nafas ke Indonesia-an perlu ditemukan di tengah pluralitas dan kemajemukan Bangsa Indonesia dengan keberagamannya, membutuhkan waktu lama untuk mengkaji, mendalami sampai pada etape penerapan yang membutuhkan waktu panjang.

Lihatlah Amerika dengan pluralitas mampu memaksimalkan kurikulumnya, sebab paham betul dengan kebutuhan manusia dan masyarakatnya.

Merdeka Belajar-Merdeka Dalam Tekanan

Kemerdekaan dimaknai sebagai kebebabasan berfikir, bebas melakukan dan kebebasan dalam bersosialisasi juga berinteraksi dengan masyarakat baik masyarakat kampus, pedesaan, perkotaan maupun masyarakat industri.

Mahasiswa diharapkan mampu menyesuaikan dengan tantangan era industi 4.0 dan masyarakat 5.0.

Kurikulum ini dianggap sesuai dengan kebutuhan zaman namun dirasa belum mampu melihat karakteristik manusia Indonesia.

Porsi pembelajaran yang nampak menyenangkan sebab banyak dilaksanakan diluar kampus seperti membuat manusia Indonesia merasa bahagia dengan munculnya kurikulum ini dengan delapan bentuk kegiatan pembelajaran yang dilakukan pada program studi masing-masing.

Bentuk kegiatan pembelajaran yang telah disebutkan di atas memiliki porsi jumlah SKS besar diikuti dengan bobot capaian besar pula.

Membuat mahasiswa merasakan merdeka belajar-merdeka dalam tekanan. Satu sisi mereka merasakan kebahagiaan dapat melaksanakan pembelajaran diluar kelas dengan interaksi aktif dengan masyarakat dan perguruan tinggi pada program studi linier maupun program studi lain.

Namun, mahasiswa akan merasakan porsi yang cukup berat. Misalnya, pada pelaksanaan kuliah kerja nyata tematik dilakukan di lapangan dalam satu semester dengan bobot 20 sks.

Lalu bagaimana dengan matakuliah lain? Tantangan pelaksanaan kurikulum merdeka belajar masih masa awal memerlukan penyesuaian dengan segala tekanan yang diberikan.

Pengembangan dan Problematika Kurikulum Merdeka Belajar

Kurikulum Merdeka Belajar-Kampus Merdeka dikembangkan melalui landasan filosofis dengan memberikan landasan filosofis bertujuan memberikan peningkatan pada kualitas pendidikan, landasan sosiologis dengan harapan mampu mewarisi kebudayaan dari satu generasi kegenerasi lainnya, landasan psikologis harapannya mendorong mahasiswa dan siswa dapat belajar dengan baik dan kurikulum ini dapat memfasilitasi kebutuhan pembelajaran yang diperlukan, landasan yuridis berdasarkan landasan hukum yang menjadi dasar pijakan kurikulum terbentuk mulai dari Undang-undang dasar hingga peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 22 tahun 2020.

Garis besar pengembangan kurikulum merdeka belajar ini tetap mengacu pada KKNI kemudian dikembangkan sesuai capaian Hots 6C (communication, colaboration, critical, thingking, creative thingking, computational logic, dan compassion), Literasi baru data, teknologi manusia, Body Of Knowledge, education 4.0 dan Industri 4.0 dan perkembangannya.

Kurikulum dan pengembangannya seperti memberikan jawaban bagi kebutuhan masa kini.

Jawaban besar yang diperlukan saat ini adalah sumber daya manusia yang mampu melaksanakan kurikulum merdeka belajar ini sesuai dengan panduan dan pelaksanaan yang ditentukan oleh pemerintah.

Tata aturan ini menjadi problematika mendasar bahwa saat ini perubahan awal baru dilakukan manusia perguruan tinggi sedang mengalami kebingungan dalam menjalankan kurikulum ini, bahkan merasa ketakutan dengan bobot yang cukup berat, tantangan bagi mahasiswa dalam menjalin kerjasama dan mendapatkan timbal balik dari masyarakat membutuhkan kerja keras dan upaya masif agar capaian 6C maupun tantangan education dan Industri 4.0 dapat diraih dengan hasil maksimal, di tengah tantangan 4C sampai saat ini pula belum berjalan maksimal sesuai harapan.

Dosen dan Mahasiswa menjadi aktor utama dalam melakukan Revolusi Mental agar capaian yang diharapkan terwujud, sehingga formulasi kurikulum ini dapat sesuai dengan kebutuhan kurikulum di Indonesia baik wilayah perkotaan, pedesaan maupun wilatah 3T.(*)