Pelecehan Seksual Mengancam Masa Depan Anak

Editor : Totok Waluyo | Reportase : Buang Supeno

Malang, Porosinformatif | Pelecehan seksual dapat terjadi dalam beberapa bentuk, yaitu pelecehan fisik, pelecehan lisan, pelecehan isyarat, pelecehan tertulis, dan pelecehan psikologis/emosional.

Hal ini disampaikan Psikolog Anak dan Remaja, Sayekti Pribadiningtyas, M.Psi. saat menyikapi kasus yang terjadi di SMA SPI Batu, Minggu (13/6/2021).

Ia menyatakan, kasus tersebut yaitu pelecehan seksual pada anak atau child sexual abuse memang kerap terjadi di Indonesia.

“Tidak sedikit dari korban yang mengalami trauma akibat kasus tersebut,” katanya kepada Porosinformatif.com.

Berdasarkan pengalaman menangani klien, dirinya menerangkan bahwa pelecehan seksual pada anak berhubungan dengan stres emosional dan kesulitan menjalin relasi intim pada saat dewasa.

“Kemungkinan dampak lain yang muncul adalah depresi, fobia, mimpi buruk, dan curiga terhadap orang lain dalam waktu yang lama,” tegas Nining panggilan akrab Sayekti Prabadiningtyas.

Dampak-dampak ini dapat mempengaruhi kondisi anak di lingkungan sosialnya, imbuh Nining menjelaskan.

“Sehingga masa kanak-kanak mereka yang seharusnya dipenuhi dengan keceriaan dan tumbuh kembang bersama teman-temannya, justru mengalami hambatan karena pengalaman buruk yang dialaminya,” tambahnya.

Bahkan kata Nining, anak-anak bisa memunculkan reaksi ekstrim terhadap trauma.

Gejala-gejala tersebut antara lain, mengompol, tidak mampu berbicara (mengalami kemunduran dalam perkembangan bahasa), bertindak ekstrim (senang permainan yang membahayakan), serta menjadi sangat menempel dengan orang tua atau orang dewasa lainnya.

“Gejala-gejala tersebut bisa mengganggu anak dalam mengoptimalkan potensi yang mereka miliki pada masa perkembangan,” bebernya.

Adapun langkah mengatasi trauma anak tersebut, menurut Nining adalah dengan mengikuti konseling.

“Dengan konseling dapat membantu anak menghadapi permasalahannya, konseling bisa membantu untuk memulihkan “luka” mereka,” jelasnya.

Selain itu, dengan konseling dapat mengetahui dinamika psikologis yang terjadi pada individu.

Dinamika psikologis yang terjadi pada korban pelecehan seksual tergantung pada kepribadian anak. Namun pada awalnya mereka memiliki pikiran-pikiran negatif yang terjadi secara berulang dan akhirnya menjadi negative belief.

Keyakinan negatif yang mereka tujukan pada diri mereka sendiri dapat membuat anak tidak percaya diri, ungkap Sayekti Pribadiningtyas.

“Maka, seorang anak tetap membutuhkan dukungan sosial dari orang-orang terdekat mereka, peran orang tua dan keluarga menjadi penting untuk meminimalisasi dampak traumatis dan tekanan-tekanan yang dialami anak. Kehadiran mereka bisa membuat anak lebih mampu mengatasi permasalahan yang dihadapinya,” terangnya.

Kasus pelecehan seksual terhadap anak sangat berbahaya. tidak bisa membiarkan pelaku terus berkeliaran. Mereka perlu ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku agar tidak ada korban lainnya.

Namun untuk menegakkan hukum, perlu saksi dan bukti. Pihaknya siap memberi pendampingan terhadap saksi korban jika diperlukan katanya.

Guna menghindari terjadi pelecehan seksual lagi di Batu, Nining bersama dengan lembaganya melakukan pendidikan seksual dini terhadap siswa SMP, SMA dan SMK di Batu.

“Yang belum dilakukan memberi pendidikan seks pada siswa PAUD dan orang tua yang ada di desa,” tutupnya.(*)