Gitanjali Rao, Ilmuwan Muda Penemu Berbagai Inovasi Gemilang

Editor : Totok Waluyo

Jakarta, Porosinformatif | Pada 2020, Majalah Time untuk pertama kalinya memberikan apresiasi kepada anak-anak berprestasi dengan penghargaan Kid of The Year. Gitanjali Rao (15) menjadi anak pertama yang berhasil meraih titel tersebut.

Dia mampu mengalahkan 5.000 anak berprestasi lainnya. Dirinya pun tampil di sampul majalah Time edisi 4 Desember 2020.

Penghargaan tersebut diberikan kepada Gitanjali atas aplikasi dengan mengandalkan kecerdasan buatan yang dia buat untuk mendeteksi cyber bullying. Selain itu, dia juga membuat sebuah perangkat yang dapat mendeteksi kandungan timbal dalam air minum. Inovasi alat pendeteksi kandungan timbal ini sudah dia mulai sejak usia 12 tahun.

Namun, sebenarnya kiprah Gitanjali dalam bidang sains sudah dimulai lebih awal daripada dua temuan tersebut. Pada usia 10 tahun, dia berhasil menemukan teknologi sensor carbon nanotube yang menggunakan molekul untuk mendeteksi bahan kimia dalam air.

Kata Gitanjali, dia berusia 10 tahun ketika saya memberitahu orang tuanya bahwa dia ingin meneliti sensor tabung nano karbon di laboratorium penelitian kualitas air Denver.

Dua tahun kemudian, dirinya menciptakan sensor untuk mendeteksi timbal dalam air lebih cepat daripada perangkat lain yang sudah ada sebelumnya.

Perangkat ini dia ciptakan setelah mendengar ada masalah krisis air di Flint, Amerika Serikat. Setelah pergi ke Flint dan melihat langsung kondisi di sana, perspektif Gitanjali benar-benar berubah.

Gitanjali sengaja merancang perangkat bernama Tethys ini dengan desain portabel agar orang dapat menggunakannya secara mudah kapan pun mereka membutuhkannya.

Dia ingin Tethys bisa digunakan di rumah-rumah dan di sekolah-sekolah.

Tethys, menurut Gitanjali, digunakan dengan cara menghubungkan perangkat dengan bluetooth dan ponsel. Kemudian orang yang menggunakan dapat membuka aplikasi, yang juga dia kembangkan, untuk mendapatkan status ‘aman’, ‘sedikit terkontaminasi’ atau ‘kritis’.

Penemuan inilah yang membuat nama siswa STEM School Highlands Ranch kota Denver, Amerika Serikat, ini kian bersinar. Gitanjali dinobatkan sebagai Ilmuwan Muda Top Amerika dan mendapatkan Penghargaan Pemuda Lingkungan Presiden Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat 2018.

Temuan tersebut juga mengantarkannya pada gelar Forbes 30 Under 30 tahun 2019.
Sambil menunggu hak paten Tethys selesai, Gitanjali kembali membuat temuan.

Pada 2018, dia mengembangkan sebuah perangkat bernama Epione yang dapat mengecek protein di cairan tubuh. Tujuannya, untuk mendeteksi penyalahgunaan opioid.

Menurut Gitanjali, banyak orang memakai opioid untuk mengurangi rasa sakit lalu kecanduan. Dia juga berpikir bahwa ahli kesehatan belum memiliki alat yang dapat dengan mudah mendeteksi kecanduan opioid pada tahap awal.

Setelah itu, dia kembali membuat temuan baru, yaitu aplikasi pendeteksi cyber bullying bernama Kindly. Aplikasi yang masih berada dalam tahap awal pengembangan ini memungkinkan seseorang untuk memasukkan kata-kata ke dalam aplikasi untuk mengecek apakah kata-kata itu termasuk kategori bully atau tidak. Lalu, aplikasi akan memblokir pengguna untuk menuliskan pesan bullying.

Gitanjali terpikir untuk membuat aplikasi ini berdasarkan pengalamannya yang selalu merasa takut setiap pindah sekolah. Ya, Gitanjali pernah beberapa kali pindah sekolah karena ikut orang tuanya yang harus pindah dari Ohio dan Nashville sebelum akhirnya menetap di Colorado.

Dia ingin memberikan rasa aman bagi anak-anak yang harus pindah sekolah seperti dirinya. Gita belajar dari ketakutan terbesar baginya, yaitu ketika pindah, dia merasakan hal-hal yang tidak diketahui dan di luar kemampuannya.

Dirinya mengatakan, ia ingin penemuannya dapat digunakan oleh orang banyak dan memberikan manfaat besar. Karena itu, ia memilih untuk memanfaatkan teknologi aplikasi agar dapat menjangkau banyak orang.

Gitanjali merasa hal terbaik dari membuat aplikasi atau intermuka pengguna adalah betapa banyak orang yang dapat terbantu olehnya. Apabila aplikasi dia dapat menyelamatkan nyawa satu orang saja, maka dia merasa benar-benar telah membuat perubahan.

Dalam wawancaranya dengan Angelina Jolie, Gitanjali mengakui bahwa dirinya bukan ilmuwan biasa. Dia membuktikan bahwa ilmuwan hebat bukan hanya berasal dari kalangan kulit putih dan berusia dewasa saja. Gitanjali sendiri merupakan keturunan India-Amerika. Dia terbiasa melihat di televisi kalau ilmuwan itu punya umur jauh lebih tua dan biasanya berkulit putih.

Gitanjali pun berharap dirinya dapat memberikan inspirasi kepada orang lain untuk melakukan hal yang sama. Sebab, menurutnya, generasi muda banyak menghadapi masalah baru tetapi pada saat yang bersamaan juga masih menghadapi masalah lama warisan generasi sebelumnya yang belum selesai. Ia yakin siapa pun dapat menjadi inovator seperti dirinya.

Penulis: Amanda Anggita (Anggota Perempuan Indonesia Satu)