Editor: Totok Waluyo | Reportase: Rizka Septiana
Jakarta, Porosinformatif | Kabar duka datang dari dunia pewayangan. Ki Manteb Sudarsono kembali ke haribaan Ilahi pada hari Jumat (2/7/2021).
Dia menghembuskan napas terakhir pada usia 72 tahun, saat menjalani isolasi mandiri di rumahnya sejak terpapar Covid-19 beberapa hari sebelumnya.
Memang, tidak semua masyarakat Indonesia tahu sepak terjang almarhum selama berkarier menjadi dalang wayang kulit. Orang mungkin lebih mengenalnya sebagai sosok ikonik yang selalu muncul di iklan salah satu obat sakit kepala. Jargonnya “Pancen Oye” cukup terkenal dan sudah akrab di telinga masyarakat.
Di balik ketenarannya itu, Ki Manteb adalah seorang dalang legendaris yang kemampuannya diakui secara nasional dan internasional. Dedikasi dan kecintaan Ki Manteb terhadap budaya wayang kulit pun tak perlu dipertanyakan lagi. Bahkan sepekan sebelum dinyatakan positif Corona, dia tetap aktif mendalang, meskipun usianya tidak muda lagi.
Sepekan sebelumnya, Ki Manteb sempat menghadiri pentas kesenian di Jakarta. Menurut anak sulungnya, ketika pulang Ki Manteb sempat dalam kondisi panas. Tetapi setelah istirahat sehari, dia memutuskan tetap menjalankan agenda mendalangnya.
Pada Minggu 27 Juni 2021, dia tetap tampil mendalang secara virtual dari rumah, selama hampir semalaman. Setelah itu, kondisinya drop dan sempat dirawat di rumah sebelum akhirnya tutup usia.
Darah dalang memang mengalir deras di tubuh laki-laki kelahiran 31 Agustus 1948 ini. Dia lahir dan tumbuh dari keluarga dalang. Ayahnya merupakan pedalang Ki Hardjo Brahim, sedangkan ibunya seorang penabuh gamelan.
Sejak kecil, Ki Manteb dididik dengan keras untuk menjadi dalang seperti sang ayah. Pada usia 5 tahun, dia telah mampu mendalang. Lalu pada usia 8 tahun, Ki Manteb mendalang untuk pertama kali sebagai pembuka penampilan ayahnya pada tahun 1956, di Desa Jogorogo, Ngawi, Jawa Timur,
Dalam sebuah wawancara dengan CNN Indonesia, Ki Manteb bercerita saat itu dia mendalang selama kurang lebih 6 jam sejak pukul 09.00 WIB. Waktu itu dia mendapat bayaran Rp5, tanpa dia minta. Jumlah itu cukup besar yang jika dihitung setara dengan kira-kira Rp5 juta pada masa sekarang.
Sejak itu dia cukup laris sebagai dalang. Kegiatan mendalangnya pun kian sibuk membuat pendidikan Ki Manteb terbengkalai. Akhirnya, dia memutuskan berhenti sekolah dan fokus mendalami karier sebagai dalang.
Pada tahun 1972, dia belajar kepada Ki Narto Sabdo, dalang legendaris yang terkenal tahun 1970-1980an. Lalu pada 1974, Ki Manteb menimba ilmu kepada Ki Sudarman Gondodarsono yang saat itu terkenal sebagai ahli sabet.
Selama proses belajar, Ki Manteb masih berusaha keras untuk menemukan jati diri agar bisa tetap eksis dalam kariernya. Lelaki yang lahir di Palur, Mojolaban, Sukoharjo ini akhirnya memilih untuk mendalami seni menggerakkan wayang atau disebut dengan istilah ‘sabet’.
Orang-orang yang pernah melihat pementasannya mungkin tahu bahwa Ki Manteb punya kemampuan untuk menciptakan sanggit lakon yang berbeda dari konvensional dan menuangkannya ke dalam garap pakeliran.
Dia juga sering menampilkan bintang tamu sehingga pementasannya terasa lebih segar.
Namun sebelum dijuluki penggemarnya sebagai “Dalang Setan”, Ki Manteb mengaku memiliki hobi nonton film kung fu yang dibintangi oleh Bruce Lee dan Jackie Chan.
Film-film ini kemudian menginspirasi dia untuk menerapkannya pada pedalangan. Dari sini lah lahir keindahan sabetan khas Ki Manteb yang indah dan dinamis.
Selain itu ia juga menciptakan adegan flashback yang sebelumnya hanya dikenal dalam dunia perfilman dan karya sastra saja.
Ini membuat alur penceritaan dalam pentasnya menjadi lebih dramatis.
Dia juga menjadi pelopor yang berinovasi memadukan peralatan musik modern dan seni pedalangan. Ki Manteb yang pertama kali membawa alat musik modern ke atas pentas wayang kulit, seperti tambur, biola, simbal, atau terompet.
Popularitas Ki Manteb Sudarsono sebagai seniman tingkat nasional mulai diperhitungkan publik sejak ia menggelar pertunjukan Banjaran Bima sebulan sekali selama setahun penuh di Jakarta pada tahun 1987. Pergelaran tersebut diselenggarakan setiap bulan sebanyak 12 episode sejak kelahiran sampai kematian Bima, sang tokoh Pandawa.
Semasa hidupnya, sederet prestasi pun dia torehkan. Ki Manteb sudah menjadi dalang bertaraf internasional, ia menjadi perwakilan Indonesia ketika wayang diakui oleh UNESCO sebagai warisan mahakarya dunia yang tak ternilai dalam seni bertutur.
Pada 2010 dia mendapat penghargaan “Nikkei Asia Prize Award 2010” dalam bidang kebudayaan karena kontribusinya yang signifikan bagi kelestarian dan kemajuan kebudayaan Indonesia terutama wayang kulit.
Dia pun pernah memecahkan rekor MURI dengan mendalang selama 24 jam 28 menit tanpa istirahat. Pada tahun 1995, ia mendapat penghargaan dari Presiden Soeharto berupa Satya Lencana Kebudayaan.
Indonesia memang baru saja kehilangan sosok yang begitu berpengaruh di dunia seni, terutama seni wayang kulit. Namun, karya-karya Ki Manteb akan tetap abadi dan terus diturunkan kepada generasi-generasi Indonesia.(*)