Jejak dan Gebrakan Maria Farida, Hakim Perempuan Pertama di MK Indonesia

Editor: Totok Waluyo | Reportase: Rizka Septiana

Jakarta, Porosinformatif | Maria Farida Indrati menjadi hakim perempuan pertama dan satu-satunya di antara sembilan hakim di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Perempuan kelahiran Solo, Jawa Tengah, 14 Juni 1949 ini menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan pernah mendapat predikat ‘mahasiswi teladan’.

Di universitas yang sama, Maria menyelesaikan pendidikan notariat, lalu memperoleh gelar master dan doktor Ilmu Hukum.

Ia mengawali karier sebagai dosen Ilmu Perundang-undangan. Maria kemudian melanjutkan kariernya sebagai Ketua Komisi Perundang-Undangan di Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, kemudian menjadi anggota tim perumus dan anggota tim penyelaras pada Komisi Konstitusi Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, serta anggota Board of Advisor, International Consortium on Law and Development (ICLAD)-Boston University Program on Legislative Drafting for Democratic Social Change.

Maria pernah menjadi anggota Tim Pakar Hukum Departemen Pertahanan Republik Indonesia sebagai ahli dalam perancangan dan pembentukan peraturan perundang-undangan.

Maria Farida juga memperdalam ilmunya di bidang Pendidikan Teknik Perundang-Undangan (legal drafting) di Leiden, Belanda.

Ia juga mengambil studi Pendidikan Legislative Drafting Boston University School of Law, Amerika Serikat; serta The Residence Course in Legislative Theory, Methodology and Techniques, Boston University School of Law Boston, Amerika Serikat.

Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. termasuk orang pertama bersama Prof. A. Hamid S. Attamimi memperkenalkan Ilmu Perundang-undangan di Indonesia. Untuk pertama kalinya, mata kuliah itu diajarkan di Indonesia pada tahun 1976.

Ilmu Perundang-undangan ini perlu untuk diajarkan, oleh karena selama ini di fakultas hukum atau sekolah tinggi hukum hanya mengajarkan kepada mahasiswanya bagaimana menggunakan hukum dan tidak mengajarkan bagaimana membentuk hukum tersebut.

Sejak tahun 2008, Maria Farida Indrati menduduki jabatan hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia. Sampai tahun 2018, Maria Farida adalah perempuan pertama dan satu-satunya yang menempati posisi tersebut.

Sebagai hakim MK, Maria bertugas menangani sengketa lembaga negara dan sengketa pemilihan umum. Ia juga memberikan putusan jika Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menganggap presiden melanggar konstitusi.

Selain itu, Maria Farida juga bertugas untuk menangani pembubaran partai politik dan permohonan pengujian undang-undang (judicial review).

Maria pernah menyatakan bahwa kasus judicial review sendiri sangatlah banyak. Katanya, satu tahun bisa ada hingga 140 kasus yang membutuhkan judicial review. Judicial review kerap menjadi masalah pelik di negeri Indonesia.

Dalam kariernya, Maria menghadapi berbagai tantangan. Salah satu rekannya sesama hakim Mahkamah Konstitusi ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan suap terkait perkara judicial review pada tahun 2015. Mahkamah Konstitusi lantas disorot publik dan media massa. Kredibilitas hakim konstitusi pun dipertanyakan.

Ia merasa lembaga MK cedera karena kasus tersebut. Namun, ia sadar bahwa kasus itu adalah tanggung jawab pribadi dan tidak ada kaitan dengan prinsipnya. Ia tidak takut juka memang ia telah melakukan yang benar.

Terkait kasus dugaan suap salah satu hakim, Maria mengaku tak pernah didekati oleh pihak-pihak yang ingin bermain curang. Maria selama ini selalu galak dan keras, sehingga banyak orang yang tidak mau main-main dengannya.

Di tengah keraguan publik terhadap MK, Maria Farida berjanji untuk tetap menjaga dirinya dari berbagai kepentingan. Dimulai dengan sikap Maria Farida yang selalu mensyukuri apa pun yang ia dapat.

Menurut Maria, tantangan lainnya bagi seorang hakim adalah menjaga netralitas.

Sebagai hakim konstitusi, Maria harus menjalankan kode etik dengan tidak berkomentar mengenai isu-isu yang terjadi di Indonesia. Maria sangat hati-hati dalam berbicara, apalagi menemui orang-orang yang sedang punya perkara.

Maria mengedepankan nurani dan kepekaan hatinya dalam menjalani profesi hakim konstitusi. Ia sering berdoa supaya diberikan keyakinan, agar apa yang ia putuskan merupakan sebuah kebenaran.

Hakim Maria Farida menilai betapa pentingnya seseorang, termasuk pejabat negara, untuk memperhatikan perilakunya. Ia menyampaikan bahwa dalam berkarier harus menjaga rekam jejak.

Media sosial semakin memperkuat, supaya siapa pun itu memperhatikan seluruh perbuatan orang lain. Jadi, harus hati-hati.
Satu hal lagi yang paling utama bagi Maria adalah keberanian dalam menyuarakan pendapat.(*)