Editor: Totok Waluyo | Reportase: Rizka Septiana
Jakarta, Porosinformatif | Sepak bola adalah olahraga yang identik dimainkan oleh laki-laki. Stereotip bahwa laki-laki lebih unggul dari segi fisik dibandingkan dengan perempuan. Stereotipe lainnya adalah pria punya stamina yang lebih kuat dibandingkan perempuan. Stereotip ini didukung dengan atlet-atlet sepak bola bertubuh kekar dan kemudian menjadikannya stigma sepak bola ialah milik kaum adam.
Lalu, bagaimana sepak bola perempuan Indonesia sebenarnya? Bagaimana kondisi persepakbolaan perempuan Indonesia sekarang? Seringkah masyarakat disajikan dan melihat pertandingan mereka? Pertanyaan lainnya juga, apakah ada ruang untuk perempuan di sepak bola?
Dari pengamatan yang dilakukan, peluang sepak bola untuk perempuan sebenarnya ada, tetapi sedikit sekali. Itulah yang benar-benar terjadi di negara ini. Ironisnya, sempitnya ruang yang dimiliki perempuan dalam dunia sepak bola, masih harus diganggu dengan tindakan diskriminasi terhadap mereka, yang biasa disebut seksisme.
Sepak bola perempuan secara luas sebenarnya sekarang tak bisa dipandang sebelah mata, karena banyak masyarakat yang mulai menikmati olahraga terpopuler di dunia ini. Namun kondisi itu tak bisa menutupi keadaan sepak bola perempuan di Indonesia yang belum banyak berubah. Diskriminasi dan seksisme berulang kali terjadi. Dengan segala hal yang identik dalam sepak bola, seperti maskulinitas, sepak bola memunculkan persepsi bias gender.
Perempuan masih dipandang sebelah mata di lapangan hijau. Masalahnya adalah kesadaran masyarakat minim tentang pentingnya sepak bola kaum hawa.
Seksisme selalu mengintai perempuan, baik di tribun maupun di lapangan. Siulan tanda menggoda dari supporter pria seringkali terdengar ketika ada penonton perempuan yang lewat di tribun. Banyak lagi kondisi terang-terangan melakukan pelecehan verbal kepada suporter perempuan. Alasan-alasan itu sering kali bikin kaum hawa was-was.
Diskriminasi gender perempuan dalam sepak bola membuat geleng-geleng kepala sekaligus khawatir. Jika stigma ini bertahan terus menerus, perempuan akan sulit mengambil andil di dunia sepak bola. Klub setidaknya harus bisa memberikan perubahan sederhana, tetapi konkret untuk mengatasi ketidakseimbangan dalam sepak bola.
Terlebih, untuk mengurangi stigma buruk terhadap sepak bola perempuan.
Sebenarnya, stigma buruk dan stereotip tersebut di atas sudah disadari oleh PSSI. Mereka tahu benar bahwa perempuan pun tak luput untuk dapat merasakan atmosfer keseruan dari sepak bola. PSSI mulai melek soal sepak bola Wanita, dan terus menggencarkan program untuk mendukung area tersebut.
Salah satunya adalah PSSI sudah mewajibkan klub Liga 1 untuk mengirim tim perempuan Indonesia dan ikut berkompetisi pada Liga 1 Putri.
Perjuangan membangun sepak bola perempuan Indonesia sebenarnya sudah dimulai di era 1970-an.
Papat Yunisa adalah salah satu pemain yang merasakan jalan sulit jadi pemain bola perempuan di negeri ini. Dia bahkan sempat sakit sehingga harus dirawat. Hal itu membuatnya berpikir untuk menghentikan mimpi menjadi pemain Timnas dan berjuang mengembangkan sepak bola perempuan.
Usaha Papat sampai sekarang tak pernah padam. Dulu, perjuangan dia lakukan saat masih menjadi pemain aktif. Dia bahkan merasakan menterengnya sepak bola perempuan. Medio 1970-an, klub bola perempuan sudah menjalankan aktivitas melalui berbagai kompetisi independen. Satu dasawarsa berselang, mereka mulai bersaing dalam ajang yang berada dibawah naungan PSII.
Namun, kejayaan itu tak bertahan lama karena lagi-lagi stereotip dan stigma sepak bola perempuan Indonesia tetap ada.
Diskriminasi pada perempuan dalam sepak bola sempat dirasakan eks pemain Timnas perempuan di Asian Games 2018, Dhanielle Daphne. Banyak hambatan yang sudah dia lalui. Selain sempat dilarang orang tuanya bermain sepak bola, banyak diskriminasi yang dirasakan.
Dhanielle merasa kala itu hobinya dinilai mayoritas orang tidak lazim, tetapi ia tak menyerah. Dia terus gigih berusaha meraih mimpinya jadi pemain hebat. Dia seringkali mengikuti seleksi bersama Futsal perempuan untuk SEA Games 2017 saat usianya masih belia.
Akhirnya, dia pun berhasil masuk skuad timnas perempuan di Asian Games 2018. Bagian dari usaha Dhanielle ini adalah menempuh Pendidikan tinggi di Oregon University.
Cerita di atas merupakan tanda bahwa sebenarnya sepak bola perempuan dapat maju jika ada kemauan dan keinginan dari rakyat Indonesia. Tentunya juga peran serta semua pengurus persepakbolaan Indonesia.
Namun jika benar-benar ingin berubah, tentu jangan hanya satu pihak saja yang melakukan upaya. Supaya pemain dan seluruh elemen yang ada di dunia sepak bola sebaliknya harus mulai berbenah.
Dengan seksisme yang jadi masalah utama di sepak bola Indonesia, kampanye di media sosial bisa jadi cara sederhana yang bisa membangkitkan kesadaran seseorang untuk tidak melakukannya lagi. Karena selain Daphne, banyak lagi para pejuang sepak bola perempuan yang ingin membangkitkan sepak bola perempuan Indonesia.
Sudah saatnya bakat-bakat yang dimiliki oleh Indonesia dapat diakomodir sehingga menjadi pemain yang hebat kelak.
Diskriminasi yang diterima oleh perempuan saat ingin membangun sepak bola perempuan Indonesia harus diselesaikan dan ditindak serius agar segera terhapus. Tujuannya tentu agar perempuan-perempuan berbakat Tanah Air dapat terakomodir kemampuannya.
Komitmen harus dibangun oleh PSSI serta pemerintah untuk mencoba mengembalikan kejayaan sepak bola perempuan di Indonesia. Jangan sampai ada pihak yang seharusnya mengedukasi malah menjadi pelaku tindakan seksisme sepak bola perempuan. Harus disadari bahwa olahraga sepak bola bukan hanya untuk satu gender. Mari menikmatinya dengan cara yang elegan.(*)