Editor: Totok Waluyo | Reportase: Rizka Septiana
Jakarta, Porosinformatif | Pada 1894, terjadi kehebohan di antara masyarakat Kecamatan Cicalengka, Jawa Barat. Penyebab kehebohan itu adalah unjuk kemampuan membaca dan menulis, serta mengucapkan beberapa kata dalam Bahasa Belanda oleh anak-anak perempuan pembantu kepatihan.
Pada saat itu, belum banyak anak-anak, apalagi rakyat jelata, yang memiliki kemampuan tersebut. Maklum, waktu itu kesempatan mengenyam pendidikan bagi anak perempuan masih sangat terbatas.
Hal yang lebih menggemparkan lagi adalah kemampuan baca-tulis dan Bahasa Belanda anak-anak pembantu kepatihan tersebut ternyata diajarkan oleh seorang anak perempuan berusia sekitar 10 tahun. Guru kecil itu bernama Dewi Sartika. Siapakah dia?
Dewi Sartika merupakan seorang putri dari priyayi (kelas bangsawan) Sunda, Raden Somanagara dan Nyi Raden Ayu Rajapermas. Somanegara termasuk priyayi yang paling awal menyekolahkan anak-anaknya, termasuk Dewi Sartika. Ia masuk ke sekolah Belanda walau hal itu dianggap melanggar adat istiadat Sunda. Dewi Sartika mengenyam pendidikan di sana sampai kelas dua.
Sayang, pendidikan Dewi Sartika harus terhenti karena sang ayah diasingkan ke Ternate oleh Pemerintah Hindia Belanda. Sejak itu, Dewi Sartika kecil diasuh oleh pamannya dari pihak ibu, seorang Patih Cicalengka bernama Raden Demang Suria Karta Hadiningrat.
Pamannya ini kerap mengajarkan Dewi Sartika tentang adat budaya Sunda. Selain itu, juga ada seorang nyonya Asisten Residen berkebangsaan Belanda yang mengajarkan Dewi Sartika mengenai adat dan budaya Barat.
Di lingkungan kepatihan, Dewi Sartika sering bermain dengan anak-anak perempuan pembantu kepatihan. Permainan favorit Dewi Sartika adalah sekolah-sekolahan. Ia gemar berperan menjadi guru dan mengajarkan pendidikan yang telah ia terima dari sekolah Belanda, dari pamannya, dan dari Asisten Residen kepada anak-anak seusianya. Permainan inilah yang menimbulkan kehebohan di Cicalengka pada 1894.
Gagasan Dewi Sartika soal pendidikan perempuan
Minat Dewi Sartika tentang pendidikan bukan hanya bentuk permainan anak kecil semata. Beranjak dewasa, keinginannya untuk menyelenggarakan pendidikan yang layak bagi perempuan Sunda kian kuat.
Dewi Sartika menyadari bahwa kehidupan kolot di Cicalengka dan daerah Jawa Barat lainnya tidak pernah berubah dan tak akan memberi kesempatan bagi perempuan untuk maju.
Di kalangan priyayi Sunda, hanya laki-laki yang boleh mengenyam pendidikan formal. Sementara perempuan hanya dibekali ilmu keterampilan rumah tangga dan pengetahuan adat.
Perempuan dianggap cukup menggantungkan hidupnya pada ayah atau suaminya saja. Dewi Sartika melihat langsung betapa tidak berdayanya perempuan ketika ditinggal suaminya, seperti ibunya yang tidak bisa menyatukan keluarganya yang pecah ketika ayahnya diasingkan ke Ternate dan aset-asetnya disita pemerintah.
Pada 1902, Dewi Sartika mulai mengambil tindakan. Saat itu, ia kembali ke Bandung untuk berkumpul lagi dengan ibunya yang sudah pulang dari pengasingan. Di sana, Dewi Sartika memberanikan diri untuk bertemu Bupati Bandung, Martanegara. Ia meminta izin untuk mendirikan sekolah bagi remaja perempuan. Saat itu ia baru berusia 20 tahun.
Dewi Sartika berhasil meruntuhkan rasa ragu Martanegara hingga akhirnya memperoleh izin untuk mendirikan sekolah perempuan di pendopo Kabupaten Bandung. Pada 16 Januari 1904, Sakola Istri resmi berdiri.
Awalnya, sekolah ini hanya memiliki dua ruang kelas dengan jumlah siswa 20 orang. Namun, jumlah remaja perempuan yang ingin sekolah semakin meningkat. Sakola Istri pun terpaksa meminjam sebagian ruang kepatihan Bandung sebagai tambahan ruang kelas.
Ternyata, penambahan ini masih belum cukup juga karena jumlah muridnya terus menerus bertambah. Akhirnya, sekolah pindah ke tempat yang lebih luas karena ruang kepatihan sudah tidak ada yang bisa dipinjam lagi.
Pada 1910, Sakola Istri resmi pindah ke gedung yang lebih luas dan namanya berubah menjadi Sakola Keutamaan Istri. Sekolah ini mengajarkan para remaja perempuan kemampuan membaca, menulis, berhitung, Bahasa Belanda, dan ilmu agama.
Keterampilan menjahit, merenda, dan bekal ilmu menjadi istri yang baik pun tak ketinggalan diberikan. Para murid diajarkan bagaimana menjadi istri yang baik, mandiri, dan terampil.
Dua tahun kemudian, perkembangan Sakolah Keutamaan Istri semakin pesat. Jumlah Sakola Keutamaan Istri bertambah menjadi sembilan sekolah yang tersebar di berbagai kabupaten di Priangan.
Sekolah tersebut sempat mengundang kecurigaan dari Pemerintah Kolonial Belanda. Beruntung Dewi Sartika berhasil meyakinkan Inspektur Pengajaran Belanda, C. De Hammer yang akhirnya justru memberi dukungan bagi Dewi.
Bahkan, dirinya pernah memperoleh medali Orde van Oranje-Nassau dari Pemerintah Hindia Belanda pada 1939, yaitu ordo kekesatriaan Belanda dalam bidang sipil dan militer.
Dewi Sartika meninggal pada 11 September 1947 di Tasikmalaya. Legasinya untuk pendidikan perempuan tak lekang oleh waktu. Dewi Sartika dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional pada 1966.
“Leuh barudak, ari jadi awake kudu sagala bisa, ambeh bisa hirup!”. Artinya, “Anak-anakku, sebagai perempuan, kalian harus memiliki kecakapan agar bisa hidup”.(*)