Opu Daeng Rasudju, Pahlawan Perempuan yang Dibuat Tuli Tentara Belanda

Editor: Totok Waluyo | Reportase: Rizka Septiana

Jakarta, Porosinformatif | Apabila berbicara tentang pahlawan-pahlawan perempuan yang berani melawan Pemerintah Kolonial Belanda, nama Opu Daeng Risadju tak boleh ketinggalan diceritakan.

Opu Daeng Risadju adalah pejuang perempuan dari Sulawesi Selatan yang dibuat tuli oleh tentara Belanda. Perempuan kelahiran Palopo pada 1880 silam ini mendapat gelar Pahlawan Nasional dari Pemerintah Indonesia pada 2006.

Opu Daeng Risadju semasa kecilnya dikenal dengan nama Famajjah. Ia adalah anak dari pasangan Muhammad Abdullah to Baresseng dan Opu Daeng Mawellu.

Orangtuanya merupakan keturunan bangsawan dari Kerajaan Luwu. Famajjah kecil tumbuh di lingkungan Islam yang kuat. Walau ia tidak menimba ilmu di sekolah formal, Famajjah mendapatkan pendidikan agama di rumahnya.

Dirinya dibiasakan untuk membaca Al-Quran sampai tamat 30 juz dan mempelajari fiqih dari buku yang ditulis oleh salah satu tokoh penyebar agama Islam di Sulawesi Selatan, Khatib Sulaweman Daeng Mawellu.

Selain itu, Famajjah yang tumbuh di lingkungan bangsawan juga banyak belajar tentang budaya, nilai moral, dan tingkah laku.

Saat memasuki usia dewasa, Famajjah dinikahkan dengan H. Muhammad Daud, seorang ulama yang pernah tinggal di Mekkah, Arab Saudi. Sang suami kemudian diangkat menjadi imam masjid istana Kerajaan Lawu. Sejak saat itulah nama Famajjah berubah menjadi Opu Daeng Risadju.

Kisah perjuangan melawan Belanda

Pasangan H. Muhammad Daud dan Opu Daeng Risadju membina rumah tangga di tengah-tengah masa penjajahan Belanda. Pada 1905, Belanda berhasil menguasai Kerajaan Lawu. Opu Daeng Risadju bersama sang suami terpaksa harus meninggalkan Kota Palopo dan pindah ke Parepare. Di kota inilah kisah perjuangan Opu Daeng Risadju bermula.

Opu Daeng Risadju yang sudah berusia 40 tahun masuk menjadi anggota Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) cabang Parepare. Di PSII, ia berteman baik dengan Kartosoewirjo.

Bahkan, Opu Daeng Risadju pernah menjadi penghubung yang dikirim oleh Abdul Muzakkar ke Jawa Barat untuk menemui Kartosoewirjo yang pada saat itu menjadi pemimpin tertinggi gerakan DI/TII tahun 1953.

Pada 1930, dia kembali ke Kota Palopo dan mendirikan PSII cabang Luwu. Opu Daeng Rasudju pun menjadi Ketua PSII di sana.

Selama masa kepemimpinannya, Opu Daeng Rasudju menggunakan agama sebagai landasan perjuangannya. Dirinya memperoleh banyak simpati dan dukungan dari para rakyat.

Dukungan besar dari rakyat membuat semangat anti-penjajah Opu Daeng Rasudju semakin membara. Propaganda politiknya pun mulai tercium oleh pihak Belanda dan membuat mereka meradang.

Mereka menuduh Opu Daeng Rasudju menghasut rakyat dan melakukan tindakan provokatif agar rakyat tidak percaya dengan pemerintah.

Sebagai hukuman, pihak Belanda mengadili dan mencabut gelar bangsawan Opu Daeng Rasudju. Pihak Belanda juga menekan suami dan anggota keluarga Opu Daeng Rasudju lainnya untuk menghentikan kegiatannya di PSII.

Dirinya juga mendapat tekanan dari Datu Luwu dan Dewan Adat Luwu untuk menghentikan kegiatan politiknya. Namun, Opu Daeng Rasudju memilih untuk menanggalkan gelar bangsawannya dan tetap membela rakyat.

Masih belum puas juga, akhirnya pihak Belanda memenjarakannya selama 14 bulan pada 1934. Peristiwa ini mencatat nama Opu Daeng Rasudju sebagai perempuan pertama yang dipenjarakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda dengan alasan politik. Walaupun begitu, semangat juang Opu Daeng Rasudju tak pernah padam.

Pada masa revolusi, dirinya kembali aktif melawan penjajah. Opu Daeng Rasudju mengumpulkan dan mengajak para pemuda di Palopo untuk melakukan perlawanan kepada tentara Nederlands Indie Civil Administration (NICA).

Serangan yang mereka lakukan kepada tentara NICA menimbulkan konflik senjata sangat besar.

Opu Daeng Rasudju kembali menjadi buronan utama pihak Belanda di Sulawesi Selatan. Beberapa waktu kemudian, ia tertangkap di Lantoro, setelah tentara NICA melakukan serangan balik.

Saat ditangkap, Opu Daeng Rasudju dipaksa berjalan kaki untuk kembali ke Watampone. Di usia 60 tahun, ia harus berjalan kaki sepanjang 40 kilometer.

Selain itu, dirinya juga dihukum oleh pihak Belanda dan Ketua Ditrik Bajo saat itu untuk lari mengelilingi lapangan bola pada siang hari dengan letusan senapan di dekatnya.

Bahkan, sebuah senapan diletuskan di samping telinganya persis. Hukuman tersebut membuat gendang telinga Opu Daeng Rasudju pecah dan menjadi tuli seumur hidup.

Setelah kemerdekaan, Opu Daeng Rasudju hidup bersama anaknya di Parepare. Pada 10 Februari 1964, dirinya menghembuskan napas terakhirnya dan dimakamkan di kompleks makam raja-raja Lakkoe di Palopo. Kisah perjuangan Opu Daeng Rasudju akan terus menjadi inspirasi bagi perempuan Sulawesi Selatan dan masyarakat Indonesia pada umumnya.(*)