Editor: Totok Waluyo | Reportase: Rizka Septiana
Jakarta, Porosinformatif | Mendengar kata “sastra” kebanyakan orang akan mengaitkannya dengan puisi. Itu tidak salah, karena puisi memang bagian dari karya sastra. Namun, kuliah di jurusan sastra Indonesia tidak melulu mempelajari puisi. Ada bidang-bidang lain yang tentu tidak kalah menarik untuk dipelajari.
Mulai dari prosa, cerita, novel, naskah, dan karya sastra lainnya dalam bahasa Indonesia. Kamu akan melakukan berbagai kajian untuk mengetahui latar belakang dari ide dan karya seniman.
Dalam mempelajari sastra, bahasa menjadi bagian penting yang membentuk suatu karya sastra. Dengan mempelajari ilmu sastra, kamu juga akan mempelajari ilmu bahasa atau linguistik. Linguistik memiliki beberapa cabang, mulai dari fonologi sampai semantik. Mempelajari ilmu bahasa memang tidak semudah yang kamu kira.
Dalam mempelajari sastra, kamu akan mengetahui sejarah sastra Indonesia mulai dari Angkatan Balai Pustaka sampai karya sastra terbitan era reformasi seperti sekarang. Kamu pun dapat mengenal tokoh-tokoh sastrawan yang berpengaruh pada masanya.
Mengenal Sastrawan Indonesia
Indonesia melahirkan sastrawan ternama, tak kalah dengan penyair-penyair dunia. Karya-karya mereka sangat berpengaruh terhadap kesusastraan Tanah Air. Sejumlah judul puisi karya sastrawan tersohor itu melekat di ingatan penikmat sajak.
Sebut saja, Sapardi Djoko Damono. Puisi-puisinya begitu mampu mendaraskan rindu dan cinta yang tulus terhadap hal apa pun. Diksi-diksi yang tepat selalu ‘dipasang’ sastrawan kelahiran Surakarta, 20 Maret 1940 ini di setiap sajaknya.
Lirik per lirik tampak sederhana, tapi mengandung makna yang dalam. “Hujan Bulan Juni” dan “Aku Ingin” adalah karya monumentalnya. Bahkan, Hujan Bulan Juni dikembangkan menjadi novel, komik, bahkan akan jadi film. Kini, Sapardi masih aktif mengajar program pascasarjana di Universitas Indonesia jurusan sastra.
Ada pula W.S. Rendra Karya-karya sastrawan asal Solo kelahiran 1935 itu punya pengaruh besar terhadap kesusastraan Indonesia. Meski demikian, ia disebut-sebut tak masuk pakem angkatan ‘45, ’60-an, atau ’70-an.
Karyanya mengalun menurut kebebasannya sendiri. Ia mengubah puisi atau karya-karyanya dengan jahitan kata yang rapi dan apik dibaca maupun didengar.
Selain itu, ada pula Pramoedya Ananta Toer. Ia merupakan pengarang paling produktif dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Selama hidupnya, penulis bernama asli Pramoedya Ananta Mastoer ini telah menghasilkan lebih dari 50 karya. Seluruh karyanya tersebut diterjemahkan ke lebih dari 41 bahasa asing.
Untuk zaman ini, ada Andrea Hirata. Pria bernama asli Air Aqil Barraq Badruddin Seman Said Harun ini berhasil membawa mimpi anak-anak desa hingga mancanegara. Andrea Hirata telah berkiprah di dunia sastra berskala internasional dan aktif dalam berbagai festival buku dan pengajaran sastra di luar negeri.
Karyanya yang berjudul Rainbow Troops (Laskar Pelangi) telah diterjemahkan ke dalam 34 bahasa asing dan diterbitkan di 130 negara. Selanjutnya, buku keduanya Dër Traumer (Sang Pemimpi) juga telah diterjemahkan ke berbagai bahasa asing.
Berkat kontribusinya di kesusastraan internasional, dirinya mendapat honoris clausa (gelar kehormatan) di salah satu universitas bergengsi Inggris, Warwick University.
Identitas Bangsa
Bahasa dan sastra Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu telah memperlihatkan fungsinya sebagai jatidiri bangsa di Nusantara. Historiografi tradisional yang terdapat dalam khasanah sastra tulis maupun tradisi lisan masyarakat di Nusantara memuat kearifan tersendiri.
Hasil karya nenek moyang kita tersebut dimuat dalam klasifikasi tersendiri seperti, tambo, babad, riwayat, hikayat, riwayakna, salasilah, serat sarasilah, pustaka raja, ruwayat dan lain sebagainya memuat pemahaman asal-usul suatu komunitas, tempat, atau tokoh dari sebuah negeri di Nusantara.
Upaya meraih kembali identitas bangsa melalui bahasa itu akhirnya dinyatakan melalui suatu kerapatan atau kesepakatan yang disebut oleh pemuda Indonesia pada masa itu sebagai Kongres Pemuda yang dilaksanakan pada tanggal 28 Oktober 1928. Atau sekarang lebih kita kenal sebagai Sumpah Pemuda 1928.
Bahasa Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu disepakati bersama untuk dijunjung sebagai bahasa persatuan. Kesepakatan untuk mengukuhkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan ini tidak muncul secara serta merta, melainkan telah melalui batu ujian yang panjang yang dapat kita ketahui perjalanannya dari surat kabar dan sumber tercetak lainnya pada masa lalu. Perjalanan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia itu salah satunya adalah pada sumber-sumber kesusastraan baik yang lisan, tertulis, maupun tercetak.
Salah satu politis Tanah Air menjunjung tinggi sastra dengan membacakan puisi berjudul ‘Haknya Rakyat Merdeka untuk Dilayani’. Dalam puisi itu menyatakan bahwa sudah menjadi hak bagi rakyat yang merdeka untuk mendapatkan pelayanan dari negara maupun pemerintah.(*)