Ketertarikan Gen Z pada Kegiatan Aktivisme

Editor: Totok Waluyo | Reportase: Rizka Septiana

Jakarta, Porosinformatif | Generasi Z yang juga sering disebut dengan generasi digital adalah generasi yang lahir pada perkembangan teknologi dan mempunyai ketergantungan besar terhadap tekonologi, generasi ini lahir pada kurun waktu 1995 sampai 2010.

Mereka sudah terbiasa dengan berbagai macam bentuk gadgets dan aplikasi. Hal ini dapat mempengaruhi perkembangan perilaku dan kepribadian individu Gen Z yang merupakan generasi pertama dan dapat dianggap sebagai digital natives yang sesungguhnya.

Mereka lahir di dunia dengan kemajuan teknologi yang sangat pesat, yang berarti internet sudah menyatu dengan kehidupan mereka sehari-hari.

Generasi Z mampu mengaplikasikan seluruh kegiatan dalam satu waktu. menjalankan sosial media melalui android/ ponsel, membuka browser dengan PC, mendengarkan musik menggunakan headset.

Sejak kecil generasi Z sudah diperkenalkan dengan teknologi, pada akhirnya mereka akan bergantung pada teknologi dan hal ini dapat berpengaruh terhadap kepribadian lebih memilih berkomunikasi melalui dunia maya dan media sosial dibanding menghabiskan waktu bertatap muka dengan orang lain.

Sisi positifnya, mereka ini menjadi bagian dari komunitas berskala besar dalam sebuah jaringan media dan teknologi tanpa mengenal satu sama lain melalui internet.

Martha Windyana menyatakan di dalam buku yang berjudul prezpectiveZ “Gen Z terbilang memiliki karakteristik yang unik, Perkembangan karakteristik GEN Z secara signifikan dipengaruhi oleh lingkungan yang beragam karena tumbuh di tengah ledakan teknologi. Uniknya, GEN-Z sudah menganggap teknologi sebagai sahabatnya”.

Survey yang dilakukan lembaga-lembaga seperti McKinsey dan Vox di Amerika menemukan bahwa anak-anak Gen Z dianggap tidak tertarik dengan politik maupun hal-hal yang terkait dengan identitas kebangsaan, atau nasionalisme.

Hal ini disebabkan karena mereka adalah warga dunia yang terbiasa berinteraksi dengan ragam budaya dan bahasa, menjelajahi bentangan informasi di berbagai sudut dunia hanya dalam genggaman layar.

Gen Z mengenal dengan cepat berbagai informasi dan perubahan-perubahan sosial budaya di dunia melalui dunia digital. Mereka adalah generasi yang dibangun di atas kemudahan teknologi informasi yang terus berkembang demikian cepat.

Seringkali, para orang tua menyerah dan tidak dapat mengikuti perkembangan dunia digital yang cepat itu, sehingga semakin memperlebar ‘gap’ dengan anak-anak mereka.

Pada usia muda, sebagian mereka menjadi influencer yang ramai-ramai mempengaruhi perilaku kaum muda lainnya. Mereka terbiasa mengenal dan mengkonsumsi barang-barang bermerk, sangat mudah mengikuti tren, dan bahkan terus melahirkan istilah-istilah baru di dunia maya, sebagai ‘bahasa gaul’ yang seringkali tidak mudah dipahami para orang tua mereka.

Apakah ada rasa nasionalisme terbangun dalam diri mereka? Akibat eksposnya yang intensif terhadap dunia internet, Gen Z sesungguhnya adalah generasi yang punya kesadaran terhadap isu-isu global. Mereka memiliki pandangan yang luas dan punya perspektif yang beragam.

Mereka adalah orang-orang yang selalu terkoneksi dengan dunia dan berbagai isu di dalamnya. Mereka belajar dan menyerap pengetahuan dengan cara yang berbeda.

Mereka adalah orang-orang yang inklusif. Mereka tak jarang menjadi aktivis di usia belia. Greta Thunberg adalah contoh di antara Gen Z yang memilih menjadi aktivis lingkungan yang terus menyuarakan protesnya pada dunia.

Survey di Amerika mengungkapkan bahwa bagi Gen Z nasionalisme tidak terlalu penting, maka sesungguhnya dapat terlihat dari sisi yang berbeda. Pelabelan yang diberikan kepada Gen Z cenderung pragmatis, dan apolitis bisa jadi adalah label yang diberikan oleh generasi sebelumnya, para orang tua mereka mengingat perbedaan pengalaman cara hidup, berinteraksi, dan belajar.

Seperti Greta Thunberg yang banyak dicibir oleh para generasi tua sebagai anak baru yang tidak paham persoalan terhadap ekonomi dunia yang rumit dan kompleks. Tetapi, dalam laporan tirto.id yang berjudul “Gen Z bukan Generasi Apolitis”, menunjukkan bahwa pelabelan itu tidak sepenuhnya benar.

Setidaknya, di Indonesia, hal itu dibuktikan dengan partisipasi pelajar dan mahasiswa, Gen-Z pernah mengejutkan publik karena berpartisipasi dalam gerakan Reformasi Dikorupsi yang berawal dari aktivisme digital.
Belum lekang dari ingatan bagaimana Gen-Z, terutama dari kalangan mahasiswa, meramaikan Twitter dengan #ReformasiDikorupsi.

Gen-Z yang dikira apolitis ternyata juga terlibat aktivisme digital yang mengangkat isu korupsi, HAM dan isu sarat politik lainnya. Mereka bahkan memobilisasi massa untuk turun ke jalan dan melakukan aksi yang disebut-sebut sebagai aksi mahasiswa terbesar setelah Reformasi 1998. Hasilnya, pengesahan sejumlah rancangan undang-undang ditunda.

Selama pandemi Covid-19, potensi keterlibatan Gen-Z lebih banyak dalam aktivisme digital semakin tampak. Kebijakan belajar dari rumah meningkatkan penggunaan internet dan memberi banyak waktu beraktivitas di sosial media. Hal itu memperbesar kesempatan mereka menjadi audiens atau bahkan partisipan sebuah aktivisme digital yang sedang berlangsung.

Salah satu aktivisme digital Gen-Z saat pandemi, yaitu memviralkan tagar untuk memprotes sejumlah perguruan tinggi yang tidak memberi keringanan Uang Kuliah Tunggal (UKT).

Tagar yang awalnya trending di Twitter yaitu #AmarahBrawijaya dan yang baru-baru ini muncul yaitu #UnpadKokGitu. Sejumlah mahasiswa perguruan tinggi di bawah naungan Kemenag juga meramaikan #kemenagprank saat institusi tersebut batal memotong UKT.

Mereka merasa tidak perlu membayar biaya operasional kampus, seperti listrik dan internet, mengingat perkuliahan dilakukan dari jauh. Selain itu, orang tua mereka mengalami kesulitan ekonomi karena pandemi, sehingga besaran UKT seharusnya dikurangi.

Nasionalisme yang mereka pahami bukanlah nasionalisme yang sempit. Mereka merespon perubahan iklim global, isu toleransi beragama, politik, dan aktivisme lainnya, melalui cara-cara yang tidak terbayangkan sebelumnya. Belum lagi pengaruh para influencer muda di media sosial yang memungkinkan lahirnya aktivisme gaya baru.

Dengan demikian, mengenalkan nasionalisme dan cinta tanah air kepada Gen Z tentu tidak cukup sekedar membacakan kisah-kisah heroik di masa lalu, seperti menceritakan bagaimana heroiknya kelahiran Sumpah Pemuda pada tahun 1928, yang dilahirkan para pemuda seusia mereka.

Pengenalan mereka terhadap sejarah bangsa perlu lebih banyak dilakukan melalui media-media yang cocok dengan karakter Gen Z, misalnya melalui media visual yang menarik, pendek tapi sarat pesan, dan media populer lainnya.(*)