Editor: Totok Waluyo | Reportase: Rizka Septiana
Jakarta, Porosinformatif | Perjuangan seniman untuk kehidupan yang lebih baik bagi kaum perempuan bukanlah hal baru di era modern ini. Perjuangan ini juga dilakukan oleh penyanyi kenamaan asal Amerika Serikat, Taylor Swift. Perempuan kelahiran Reading, Pennsylvania, itu kini lebih vokal dalam menyuarakan opini dan pandangan politiknya.
Taylor Swift dua tahun belakangan kerap kali memperjuangan nilai-nilai progresif. Bahkan, album-album terbarunya juga lekat dengan pesan bernada inklusif untuk semua seluruh gender hingga ras. Taylor tidak lagi melagukan tentang cinta saja, tetapi juga membahas hak-hak politik anak muda, hingga kebebasan dalam mencintai.
Sejak album Lover, Taylor banyak dinilai oleh pakar musik lebih menunjukkan sisi humanis dan kemanusiaannya. Lewat album terbarunya itu juga dia menunjukkan sisi dirinya yang berkembang dan lebih dewasa. Misalnya pada lagu “Me!”, Taylor menulis tentang bagaimana penerimaan pada diri sendiri.
Taylor juga mengukuhkan posisinya mendukung Partai Demokrat dan gerakan progresif dalam politik partai ini. Taylor dalam akun Instagramnya bahkan pernah “meneriakan” ketidaksukaannya terhadap Senator Partai Republikan Marsha Blackburn.
Taylor menyatakan bahwa sebagai perempuan, Marsha justru tidak mendukung kaumnya. Sebaliknya, Marsha malah terbilang suportif pada aturan yang terkait kekerasan terhadap perempuan hingga kekerasan gender.
Dilansir dari National Public Radio (NPR), Taylor pernah mengungkap bahwa dia tidak bisa mendukung orang yang tidak berdiri memperjuangkan hak sesama warga Amerika Serikat, tanpa memandang warna kulit, gender, atau siapa yang mereka cintai.
Fokus di dunia musik, Taylor terkenal sejak lama sebagai musisi yang membela hak-hak musisi lainnya. Ia sempat bertempur panjang dengan perusahaan streaming lagu Spotify karena masalah royalti. Taylor menganggap Spotify membayar royalti yang sangat kecil untuk musisi, bahkan bisa tidak membayar sama sekali.
Dalam perjuangannya menuntut keadilan, Taylor Swift memboikot Spotify dan tidak mengizinkan musiknya ditayangkan di platform tersebut. Padahal, fans Taylor Swift termasuk musisi dengan pendengar dan fans paling besar di seluruh dunia. Taylor baru membuka musiknya untuk Spotify di pertengahan 2017.
Taylor juga pernah protes pada Apple Music. Saat itu, Apple Music yang baru hidup melakukan masa percobaan gratis untuk penggunanya. Di saat yang sama, Apple sama sekali tidak membayar royalti pada produser dan musisi yang musiknya digunakan. Taylor tentu merasa ini tidak adil.
Menurut Taylor, musik tidak seharusnya gratis karena dibuatnya pun tidak tanpa upaya. Ada keringat dan upaya dalam mencipta lagu, menulis lirik dan mengkreasikan nada-nada dalam musik. Sepantasnya, setiap musisi dan produser dihargai selayaknya.
Terbaru, Taylor Swift juga berseteru dengan label rekaman terdahulunya, Big Machine. Label ini hanya memberikan kredit Taylor sebagai penyanyi. Padahal, Taylor Swift adalah musisi yang selalu menulis lirik lagunya sendiri.
Taylor menempuh perjalanan panjang untuk memperjuangkan hak cipta enam album pertama yang diproduksi oleh Big Machine. Taylor pun berpindah label rekaman ke Universal Music Publishing Group (UMPG).
Suara dan perjuangan Taylor Swift memang sangat dinanti, terutama dalam isu-isu kemanusian dan politik. Pasalnya, penyanyi muda ini termasuk ke dalam daftar orang yang diperhitungkan di dunia. Di usianya sekarang, Taylor Swift sudah mengantongi 11 Grammy Award dan telah menjual lebih dari 114 juta album di seluruh dunia.
Pada 2019, Taylor Swift dinobatkan menjadi perempuan berpengaruh abad ini lewat penghargaan Woman of the Decade dari Billboard. Taylor dinilai sebagai penyanyi dan penulis lagu yang punya bakat luar biasa. Bukan satu atau dua album, tetapi lima album Taylor Swift pernah menduduki peringkat pertama Billboard 200.
Taylor Swift juga dihargai karena terus berkomitmen untuk melindungi hak-hak kreatif, edukasi musik, program melek huruf, penelitian kanker, bantuan bencana, hingga inisiatif gerakan Time’s Up. Taylor bahkan sudah punya sederet film dokumenter yang ditayangkan di Netflix, di antaranya Miss Americana dan Reputation Stadium Tour.
Terbaru, Taylor menerima penghargaan Global Icon dari Brit Award, ajang penghargaan musik bergengsi dari Inggris. Penghargaan itu merupakan penghargaan tertinggi yang diberikan pada seorang musisi. Taylor dihargai karena tujuh albumnya langganan menjadi album nomor satu di negeri Ratu Elizabeth itu.
Global Icon adalah penghargaan yang pernah diberikan Brit Award untuk musisi sekelas Elton John. Selain itu, Robbie Williams dan David Bowie juga pernah menerima penghargaan ini. Taylor bisa dibilang merupakan salah satu musisi termuda yang menjadi penerima penghargaan ini.
Sepak terjang Taylor Swift di dunia musik dan kariernya secara umum masih panjang. Usianya kini baru menginjak 31 tahun. Suaranya masih bisa lantang membela hak-hak mereka yang ditinggalkan. Terlebih, Taylor juga berkomitmen akan lebih vokal dalam perjuanganya.(*)