Editor: Totok Waluyo | Reportase: Rizka Septiana
Jakarta, Porosinformatif | Pada zaman penjajahan Belanda, pendidikan merupakan barang mahal bagi perempuan. Akses pendidikan di sekolah formal bagi perempuan amat sangat terbatas, terutama untuk kaum kurang mampu.
Namun, keterbatasan tersebut tak menyurutkan semangat sebagian besar perempuan pada zaman itu untuk belajar di tempat lain.
Rohana Kudus merupakan salah satu perempuan yang memiliki semangat belajar tinggi sejak kecil, meskipun tak bisa mengenyam pendidikan di sekolah.
Perempuan asal Koto Gadang, Sumatera Barat tersebut tumbuh di keluarga moderat yang gemar membaca. Ayahnya, Moehamad Rasjad Maharadja Sutan merupakan seorang Kepala Jaksa di pemerintahan Hindia Belanda.
Sejak kecil, Rohana sudah terbiasa membaca buku, majalah, dan surat kabar yang dibeli sang ayah. Selain itu, di usia lima tahun ia juga sudah mengenal abjad latin, Arab, dan Arab Melayu berkat didikan ayahnya.
Ketika usia delapan tahun, Rohana sudah bisa menulis abjad-abjad tersebut. Bahkan, dirinya juga sudah bisa berbahasa Belanda.
Rohana remaja yang semakin pandai membaca juga gemar membacakan cerita kepada perempuan lain. Hal ini ia lakukan sebagai bentuk perjuangannya membuat kaum perempuan semakin pandai.
Rohana sadar betul bahwa perempuan di Minangkabau pada zaman itu terkekang di rumahnya. Perempuan hanya diizinkan untuk belajar keterampilan rumah tangga, seperti memasak dan menjahit.
Perempuan juga dituntut untuk pandai berdandan. Tujuannya agar bisa dijodohkan dengan laki-laki terpandang di Koto Gadang atau pejabat Belanda.
Perempuan yang tak bisa menarik perhatian laki-laki tersebut, terpaksa harus bekerja sebagai buruh kasar di sawah dan ladang dengan upah rendah.
Rohana merasa prihatin melihat kenyataan tersebut. Dirinya yang rajin mengikuti pengajian-pengajian Islam sejak kecil mengetahui bahwa pengekangan terhadap perempuan seperti ini tak dibenarkan oleh agama.
Karena itu, Rohana memiliki tekad kuat untuk memperjuangkan hak kaum perempuan agar bisa memperoleh pendidikan dan hidup tanpa kekakangan.
Memperjuangkan Hak Perempuan Lewat Tulisan
Perjuangan Rohana untuk memperjuangkan hak pendidikan bagi kaum perempuan dimulai dengan mendirikan sekolah khusus perempuan.
Berbekal dukungan dari sang suami, Abdul Kuddus, Rohana mendirikan sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS) pada 1911. Sekolah ini mengajarkan keterampilan kepada anak-anak perempuan di Koto Gadang.
Setelah aktif mengajar di sekolahnya tersebut, Rohana masih belum merasa puas. Ia ingin memberikan pendidikan kepada perempuan secara lebih luas lagi. Rohana pun memutuskan untuk mengirim surat kepada Pemimpin Redaksi Oetoesan Melayu, Datuk Sutan Maharadja.
Melalui surat itu, ia menyampaikan keinginannya untuk melihat perempuan mendapat kesempatan yang sama seperti laki-laki di bidang pendidikan. Rohana pun mengusulkan agar perempuan memiliki ruang untuk menulis di Oetoesan Melayu.
Surat tersebut berhasil menarik perhatian Maharadja. Bahkan, wartawan senior yang tinggal di Padang ini menyempatkan waktu untuk berkunjung ke Koto Gadang demi bisa bertemu dan berdiskusi dengan Rohana.
Saat bertemu dengan Maharadja, Rohana mengatakan, sebenarnya keinginannya tak hanya sebatas perempuan memiliki ruang untuk menulis di Oetoesan Melayu. Namun, ia juga ingin ada surat kabar yang diterbitkan khusus untuk perempuan.
Hanya saja Rohana merasa tak sanggup untuk mendirikan surat kabar itu sendirian karena harus mengurus sekolah KAS.
Datuk pun mengusulkan agar Rohana dibantu oleh putrinya, Ratna Juwita Zubaidah.
Ratna bertugas mengurus keperluan redaksi di Padang, sedangkan Rohana bertugas mencari kontributor untuk mengisi rubrik-rubrik di surat kabar tersebut. Rohana dan Ratna juga sama-sama menulis di surat kabar tersebut.
Akhirnya pada 10 Juli 1912, terbitlah edisi pertama koran Soenting Melayu. Sebuah surat kabar yang diperuntukkan bagi perempuan di seluruh Tanah Melayu. Koran setebal empat halaman yang terbit seminggu sekali ini tak hanya tersebar di hampir seluruh Minangkabau dan Sumatera, tetapi juga sampai ke Malaka dan Singapura.
Rohana pun rajin mengajak teman dan murid perempuannya untuk menyumbangkan tulisan di Soenting Melayu. Alhasil, tulisan yang termuat di Soenting Melayu begitu beragam, seperti sejarah, puisi, dan tulisan terjemahan dari Bahasa Belanda yang dibuat oleh Rohana.
Kiprah Rohana tak terbatas di Soenting Melayu saja. Saat tinggal di Medan, ia bersama Satiman Parade Harahap memimpin redaksi Perempuan Bergerak. Lalu, saat ia pindah kembali ke Minangkabau pada 1924, ia menjabat sebagai redaktur di surat kabar Radio.
Sebagian besar tulisan yang dibuat oleh Rohana berisi ajakan kepada kaum perempuan untuk lebih maju. Selain itu, ia juga kerap memberi kritik atas penindasan yang dilakukan oleh orang Belanda kepada perempuan Indonesia. Misalnya, perkerjaan tak manusiawi di Perkebunan Deli dan kejahatan para mandor yang menjebak buruh-buruh perempuan dalam prostitusi.
Perjuangan Rohana untuk memperjuangkan hak perempuan lewat tulisan tak hanya menjadikannya sebagai wartawan perempuan pertama di Indonesia, tetapi juga sebagai Pahlawan Nasional. Ia mendapat gelar Pahlawan Nasional dari Presiden Joko Widodo pada 2019.(*)