Esensi Idul Adha di Masa Pandemi, Mengajarkan Ikhlas hingga Solidaritas dengan Sesama

Editor: Totok Waluyo | Reportase: Rizka Septiana

Jakarta, Porosinformatif | Pada Hari Raya Idul Adha, umat muslim dianjurkan untuk menjalankan ibadah kurban. Ibadah ini memiliki hukum sunnah muakkadah atau amat ditekankan untuk dilakukan. Esensinya adalah sebagai bentuk rasa syukur atas berkah dan nikmat yang telah diberikan Allah SWT.

Pelaksanaan ibadah kurban dicontohkan oleh Nabi Ibrahim AS yang diberikan wahyu melalui sebuah mimpi untuk menyembelih anaknya, Ismail. Ibrahim AS tak serta merta melakukannya, tetapi berdialog dengan Ismail untuk meminta pendapat, masukan serta persetujuannya. Ismail pun setuju dengan dasar cintanya pada Allah SWT dan keinginan untuk melakukan perintah-Nya.

Ayah dan anak ini pun kemudian melaksanakan penyembelihan. Namun, Allah menggantikan posisi Ismail dengan seekor kambing yang dalam al-Quran disebutkan adalah seekor kambing gibas berbulu panjang, tebal, serta keriting.

Penggantian ini adalah bentuk balasan bagi orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya di balik sebuah ujian, ada tebusan jalan keluarnya.

Ibadah kurban juga mengajarkan keikhlasan menjalani cobaan. Selain itu, teladan Nabi Ibrahim mengajarkan kita akan sifat sabar serta berserah diri terhadap perintah Allah SWT atau kondisi kehidupan yang harus dijalani. Sama halnya dengan cobaan yang sedang dunia jalani di masa Pandemi Covid-19.

Pandemi sudah berjalan hampir dua tahun dan tampaknya belum akan selesai dalam waktu dekat. Di Indonesia, terutama, angka penyebaran virus corona belum bisa dibendung dan masih terus melonjak. Sebagian besar masyarakat belakangan sering mendapat kabar buruk tentang keluarga atau kerabat yang positif Covid-19 atau berpulang lebih dahulu.

Bila ada hikmah yang bisa kita ambil dari Lebaran Idul Adha yang dikaitkan dalam kehidupan selama pandemi adalah pelajaran tentang keikhlasan. Ikhlas mengorbankan harta lewat menyembelih hewan kurban, untuk kemudian berbagi dengan mereka yang membutuhkan. Secara luas, ikhlas dalam kehidupan membawa banyak manfaat besar.

Ikhlas sendiri berarti tulus hati. Menjalani hidup dengan tulus hati, dipercaya dapat meringankan langkah dan membuat kita berjalan lebih jauh lagi. Perasaan ikhlas membawa ketenangan dan menghapuskan beban.

Perasaan ini juga menjauhkan dari pikiran negatif tentang berbagai hal buruk dalam kehidupan yang harus dijalani. Dengan merasa ikhlas, seseorang dapat menjalani cobaan tanpa beban dan berpikir bahwa perjalanan berat ini akan menemukan ujungnya.

Ikhlas juga mengajarkan untuk lebih menerima dan bersabar. Menerima bahwa dalam hidup, manusia tidak selalu merasa bahagia. Bahwa kesedihan adalah hal yang membuat perasaan bahagia menjadi lebih berarti dan berharga. Dengan ikhlas menjalani cobaan pandemi, seseorang dapat bersabar dan kuat untuk terus berjalan menghadapi kondisi saat ini.

Selain tentang keikhlasan, Idul Adha juga mengajarkan seseorang tentang rasa syukur. Khususnya bersyukur masih bisa berbagi dan membantu orang lain melalui ibadah kurban. Refleksinya dalam kehidupan selama pandemi adalah membuat seseorang bisa merasa bersyukur di tengah kesulitan.

Ada ungkapan yang mengatakan, sesulit apa pun kehidupan, rasa syukur masih bisa ditemukan dalam hal-hal terkecil. Bersyukur juga berarti bisa melihat nilai positif dalam setiap cobaan. Misalnya saja, bersyukur bagi mereka yang masih sehat, atau bersyukur masih bisa sembuh dari penyakit. Selalu ada hal yang bisa disyukuri bila seseorang bisa melihat sisi positif dari sebuah keadaan.

Rasa syukur juga mengajarkan seseorang untuk lebih bersikap optimis. Pandemi memang belum selesai, tetapi ada pelajaran untuk menjadi lebih kuat dalam menjalani kehidupan di tengah situasi yang sekarang. Melihat suatu hal dengan positif membuat seseorang dapat memunculkan kelapangan dalam hati, kemudian menciptakan rasa ikhlas itu sendiri.

Idul Adha juga memiliki esensi untuk berbagi dan menimbulkan rasa solidaritas terhadap sesama. Hal ini yang juga sangat dibutuhkan selama pandemi. Situasi Pandemi Covid-19 menimbulkan kesulitan di mana-mana. Ada yang harus kehilangan pekerjaan, pemotongan upah atau tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarga.

Berbagi rezeki saat Idul Adha, bisa menumbuhkan semangat baik bagi sang pemberi atau pun mereka yang menerima rezeki. Berbagi juga punya dampak psikologis pada tubuh.

Penelitian membuktikan ada hormon oksitosin yang dikeluarkan saat seseorang berbagi. Hormon ini adalah hormon kebahagiaan yang mengurangi stres. Pemberi bisa merasa bahagia karena dapat membantu orang lain. Sementara, bagi si penerima juga bahagia karena kehidupannya terbantu.

Konteks berbagi tidak hanya tertutup pada harta saja, berbagi juga bisa dilakukan dengan berbagai cara lain. Misalnya, dengan mendengarkan curahan hati teman atau kerabat, berarti sudah membantu mereka untuk berbagi beban dan membuat perasaan lebih baik.

Berbagi dalam konteks ini, berarti juga saling menjaga kekuatan mental satu sama lain. Pandemi yang penuh dengan tragedi otomatis akan membuat mental seseorang menjadi turun. Di sinilah dibutuhkan untuk saling menguatkan.

Jika dilihat lebih dalam, Idul Adha mengajarkan nilai-nilai kebaikan yang dapat diterapkan selama masa pandemi dan menuntun untuk menjadi manusia yang lebih baik dari hari kemarin. Semoga dengan memahami esensi ini, ada pelajaran untuk dapat lebih kuat dan saling menguatkan dalam menjalani situasi Pandemi Covid-19.(*)