Editor: Totok Waluyo | Reportase: Rizka Septiana
Jakarta, Porosinformatif | Kanker payudara merupakan persoalan yang membutuhkan kerja sama yang solid antar negara. Pasalnya, angka kasus dan kematian akibat penyakit ini masih tinggi, terutama di kawasan Asia Tenggara.
Kerja sama antar negara pun harus diperkuat agar kesadaran publik meningkat, sekaligus demi memperkuat deteksi dini kanker payudara. Dengan demikian, kasus kematian akibat keterlambatan penanganan dapat diminimalisir.
Data Global Cancer Observatory 2020 menunjukkan, angka kasus baru kanker payudara secara global jumlahnya lebih dari 2,2 juta kasus, dengan jumlah kematian yang cukup tinggi, yakni 684.996 kematian.
Di Asia Tenggara, jumlah kasus baru kanker payudara mencapai 158.939 orang dengan angka kematian 58.616. Angka ini menempatkan kanker payudara di peringkat pertama sebagai jenis kanker terbanyak di Asia Tenggara.
Data lain mengungkapkan terdapat 18,1 juta pasien kanker baru di dunia dan sejumlah 48,4% berada di Asia. Sedangkan dari 9,6 juta kematian akibat kanker di dunia sebesar 57,3% terjadi di Asia.
Sementara itu, di Indonesia sendiri jumlah kasus baru penyakit ini sebanyak 66.000 dan telah memakan korban jiwa hingga 22.430 orang.
Menurut Ketua Yayasan Kanker Payudara Indonesia, Linda Agum Gumelar, penyakit ini merupakan tantangan global sehingga semua negara perlu mengambil tindakan preventif.
“Semua pemangku kepentingan didorong bersuara pentingnya kebijakan pencegahan kanker, terutama kanker payudara di fasilitas kesehatan,” kata Linda, dilansir dari Harian Kompas.
Dia menilai perlu adanya rangkaian program yang saling berkesinambungan, dari kebijakan, pelaksanaan di tingkat fasilitas pelayanan kesehatan primer seperti Puskesmas hingga rumah sakit kelas A.
Begitu pula dengan tata kelola program, manajemen dan klinis perlu diperhatikan karena merupakan satu kesatuan. Harapannya, program yang dicanangkan dapat berjalan lancar serta pelaksanaan monitoring dan evaluasi program terlaksana untuk perbaikan program selanjutnya.
Selain itu, Linda juga menekankan pentingnya kerjasama internasional, regional, dan tingkat nasional yang merupakan penguatan bersama untuk memerangi kanker payudara.
Menurut Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Budi Gunadi Sadikin, dengan kekuatan bersama, maka pengendalian kanker payudara di Asia Tenggara bisa lebih baik. Hal ini membutuhkan komitmen semua pemangku kepentingan melalui promosi kesehatan, penapisan, deteksi dini, serta terapi terstandar.
Deteksi Dini
Sayangnya deteksi dini belum berjalan dengan baik. Di Indonesia, sekitar 60-70 persen penderita kanker payudara baru memeriksakan diri ketika memasuki kanker stadium akhir. Padahal, tingkat harapan hidup pasien semakin tinggi bila kanker terdeteksi lebih dini.
Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Eksekutif Global Focus on Cancer di Amerika Serikat, Carolyn Taylor. Dia mengungkapkan bahwa penurunan stadium kanker payudara bisa dipercepat dengan memperkuat upaya deteksi dini, termasuk pemeriksaan laboratorium.
Selain itu, penguatan upaya deteksi dini juga perlu dilakukan di sistem rujukan kesehatan. Oleh karena itu, dia berharap ada pergeseran menuju paradigma baru, yaitu perawatan yang terintegrasi dan berpusat pada pasien.
Pendapat senada datang dari Dr. Julie Torode dari Institute of Cancer Policy, Kings College London. Dia menyampaikan pentingnya peraturan untuk kanker perempuan di mana merupakan prioritas untuk pencegahan serta pengendalian kanker yang merupakan kesempatan untuk mengubah pola pikir komunitas dalam pencegahan dan deteksi dini.
Sementara itu, perwakilan WHO Benjamin Anderson menyampaikan bahwa tantangan terbesar dalam penanganan kanker payudara adalah tingkat kelangsungan hidup, stigma, kondisi keuangan, dukungan, dan layanan paliatif.
Untuk itu, supaya penanganan kanker menjadi lebih efektif, perlu adanya tindak lanjut dari deteksi dini kanker payudara yang dilakukan secara efektif, tepat waktu, juga disertai dengan pengobatan dan layanan pendukung lainnya.
Faktor Sosial dan Ekonomi
Penasihat senior Global Focus on Cancer, Anna Cabanes menyebut, sebagian besar tantangan pasien berasal dari luar rumah sakit. Pasien kesulitan mengakses layanan kesehatan antara lain karena faktor sosial dan ekonomi, seperti pendapatan, pekerjaan, hingga edukasi yang minim.
Ada pula pasien yang mengalami stigma dan diskriminasi untuk mengakses layanan kesehatan. Sebagian lain terhambat karena kendala budaya, seperti perbedaan bahasa. Disparitas akses dan kualitas pengobatan juga jadi tantangan lain.
Dia menyatakan bahwa tantangan ini tidak hanya ada saat fase pengobatan, tapi dari pra-diagnosis sampai pengobatan selesai. Oleh karena itu, semua pihak perlu mencari pendekatan komprehensif untuk mengatasi tantangan ini.(*)