Kembalikan Marwah, RRI tidak Boleh ada TV

Editor: Totok Waluyo | Reportase: Buang Supeno

Malang, Porosinformatif | Pakar Komunikasi Universitas Airlangga Surabaya Dr. Suko Widodo menegaskan, LPP RRI untuk bisa meningkatkan mutu siaran dan merebut hati masyarakat kembali, harus konsentrasi penuh terhadap pengembangan program acara radio, bukan televisi.

Hal itu diungkapnya dalam bedah buku “Atas Nama Publik” karya Dr. Freddy Ndulu Ketua Dewas Pengawas LPP RRI, yang berlangsung di Aula RRI Malang, Selasa ( 28/9/2021).

Suko Widodo dalam argumennya menandaskan, jika dalam buku itu Freddy Ndulu menyebutkan RRI kini telah menerapkan multiplatform dan mengembangkan berbagai aplikasi berbasis internet, untuk memperkuat siaran basis analognya yaitu radio penyiaran.

Secara teknis RRI sudah memiliki siaran berbasis aplikasi internet, yaitu RRINet, dengan ikon radio ber-tagline “Tonton apa yang anda dengar”.

Dirinya menilai justru itu bukan kemajuan untuk RRI. Dan tidak sesuai dengan UU Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran RRI dan TVRI termasuk lembaga penyiaran Publik.

“Radio tidak boleh ada televisi, biar konsentrasi penuh (fokus) dalam menjalankan program acaranya,” ujarnya seraya mengingatkan kembali bahwa marwah RRI adalah radio.

“Core Bisnis RRI adalah Radio, bukan TV, Manajemen RRI harus fokus terhadap pengembangan Radionya. Jangan ditinggal seperti sekarang yang dikembangkan justru TV-nya,” tambahnya.

Suko Widodo yang merasa cinta dengan RRI, apalagi pernah 2 periode menjadi ketua Pemerhati RRI Surabaya, merasa terpanggil untuk ikut mengembalikan citra RRI agar kembali disenangi dan digemari pendengarnya.

“Buat apa mengikuti perkembangan teknologi tinggi, jika pada akhirnya harus ditinggal pendengarnya,” paparnya dengan tersenyum.

“Justru teknologi itu dipergunakan untuk memberi ruang seluas-luasnya bagi publik untuk memanfaatkan Radio dalam berinteraksi,” tegasnya.

Hal senada disampaikan Dekan Fisip Universitas Merdeka Malang DR. Sukardi melalui virtual. RRI harus “Grapyak” dalam mengembangkan program acaranya.

Menurutnya, RRI harus mampu merebut hati pendengar dengan pelibatan masyarakat dalam programnya.

Disebutkan Sukardi seperti program dialog di Kampung-kampung, atau di perguruan tinggi. RRI harus bisa menyerap aspirasi masyarakat dan mampu mengembangkan sebagai model untuk pembangunan kemasyarakatan.

“Selama ini acara budaya yang sangat didambakan publik sudah mulai menghilang dari program RRI. Padahal acara budaya merupakan identitas dan karakter bangsa. Kembalikan itu jika RRI ingin dekat kembali dengan masyarakat,” pesannya.

Sementara anggota Dewan Pengawas LPP RRI, Hasto Kuncoro, mengakui buku karya temannya ini sarat dengan pengetahuan baru, namun belum tentu cocok untuk diterapkan saat ini, seperti dengan konsep “Tiga Batu Tungku” yakni adanya Channel Publik, Channel Pemerintah dan Channel Parlemen.

“Konsep itu untuk saat ini belum bisa diterapkan, karena keterbatasan frekuensi. Kecuali sudah memasuk era digitalisasi. Hal itu memungkinkan. Namun juga dipikirkan bagaimana SDM-nya,” ungkapnya.

Webinar bedah buku dengan moderator Esty Sulistya berlangsung menarik, selain Dr. Suko Widodo, juga ada DR. Rokhmat dari Universitas Merdeka Malang, diikuti peserta dari seluruh Indonesia.(*)