Editor: Totok Waluyo | Reportase: Totok Waluyo
Denpasar, Porosinformatif | Sengketa antara kreditur (pemohon eksekusi) dan debitur (termohon eksekusi) berujung keluarnya risalah panggilan aanmaning Pengadilan Negeri (PN) Denpasar dengan Nomor 5/Pdt.Fidusia/2020/PN Dps Jo. Nomor 68/Eks/2020/PN Dps tertanggal 21 September 2021.
Dalam surat tersebut disebutkan bahwa debitur atau termohon eksekusi untuk datang menghadap Ketua Pengadilan Negeri Denpasar guna diberikan teguran kepada debitur untuk memenuhi isi/bunyi daripada sertifikat jaminan fidusia dengan Nomor W20.00017147.AH.05.01 Tahun 2018 yang dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia kantor wilayah Provinsi Bali.
Ismail, S.H. selaku Dewan Pembina di Lembaga Perlindungan Konsumen LBH MUSTIKA BANGSA mengatakan, surat aanmaning ini, jika dibahasakan secara umum adalah sama dengan surat somasi.
“Namun di dalam pengadilan khusus, baru dinamakan aanmaning. Nah aanmaning ini sendiri juga diartikan teguran,” katanya melalui sambungan langsung telepon, Selasa (19/10/2021).
“Konteksnya teguran oleh kreditur untuk debitur. Istilahnya peringatan mas,” imbuhnya.
Dijelaskan lebih lanjut, aanmaning ini diterbitkan oleh pengadilan, karena menurutnya ada kehendak dari pihak kreditur kepada debitur untuk menyelesaikan kewajibannya.
“Ini memang jarang dilakukan, namun ini mungkin terjadi karena sudah terlalu lama sengketanya,” ujar Ismail.
Disinggung terkait konsekuensi hukumnya, bilamana si debitur tidak mengindahkan surat panggilan berupa aanmaning dari pengadilan, Ismail mempertegas nantinya akan menjadi sesuatu yang benar di dalam aanmaning tersebut.
“Jadi jika si debitur tidak datang, maka disebutkan si debitur wanprestasi langsung. Lah ini kan si debitur mempunyai itikad baik, dengan mendatangi pengadilan,” tegasnya seraya menerangkan bahwa di dalam aanmaning itu tidak hanya sekali, ada 3 kali dengan jangka waktu seminggu.
“Sehingga ada waktu untuk komunikasi dalam menyelesaikan hak tanggungannya. Dan perlu mas ketahui juga, dalam penyampaian fidusia itu harus disampaikan dalam kondisi normal. Ini yang terkadang banyak masyarakat dirugikan dengan adanya fidusia,” jelasnya.
Ismail kembali menekankan bahwa apa yang disampaikan dalam fidusia, jika keadaan si debitur force majeure maka seharusnya pihak kreditur memberikan banyak kelonggaran.
“Kenapa demikian? karena bagaimanapun juga, jika si debitur dikatakan menunggak, maka si kreditur kan akan tetap mendapatkan bunga daripada mundurnya pembayaran. Jadi saya rasa kreditur tidak dirugikan dalam hal ini,” tandasnya.
Sementara ASW (46) selaku suami dari si debitur memberikan keterangan bahwa apa yang menjadi tanggung jawabnya memang akan diselesaikan, bilamana kondisi sudah kembali normal dan memungkinkan terkait perekonomian.
Dirinya menyatakan, apa yang dilakukan kreditur untuk segera mengeksekusi kendaraan yang disewa pinjamkan kepada debitur merupakan langkah yang merugikan si debitur selaku konsumen.
Oleh karenanya, ASW yang juga mahasiswa dari fakultas hukum salah satu universitas ternama di Denpasar ini, ingin tetap mencari jalan tengah yang sekiranya tidak merugikan salah satu pihak.
“Beberapa waktu lalu, kami sudah mengirim surat permohonan yang isinya kami sanggup melunasi sesuai kemampuan pembayaran. Bahkan kamipun sudah mendatangi pihak kreditur, untuk mengajukan permohonan secara langsung. Namun hingga saat ini, pihak kreditur belum sepakat dengan apa yang kamis sampaikan,” pungkas ASW.(*)