Opini
Ni Nyoman Dewi Mega Purnamasari
Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Mahasaraswati Denpasar
Diskriminasi terhadap perempuan masih marak terjadi dewasa ini. Dan bisa dikatakan, hampir tidak pernah terungkap ke publik meskipun perampasan hak perempuan terjadi di tengah masyarakat.
Majelis Perserikatan Bangsa-bangsa juga sempat membuatkan perjanjian internasional terkait penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan pada tahun 1979.
Perjanjian ini mulai diberlakukan pada tanggal 3 September 1981 dan sejauh ini telah diratifikasi oleh 189 negara, termasuk Indonesia.
Dari sinilah awal kebangkitan kaum perempuan. Mengapa demikian? Karena semenjak perjanjian internasional dilaksanakan, kedudukan kaum perempuan diperhitungkan di kancah dunia.
Bisa dikatakan, saat itu perempuan sudah setara dengan kaum laki-laki perihal hak hidupnya.
Perjuangan perempuan tidak berhenti disana, sampai saat inipun perempuan masih sering mendapatkan perlakuan diskriminasi serta perampasan hak-haknya. Misalkan dalam lingkup rumah tangga masih banyak terjadinya kasus kekerasan terhadap sang istri.
Namun si korban enggan melaporkan pelaku yang notabene adalah suaminya dengan dalih kasihan.
Jika kejadian seperti ini terus dibiarkan, maka tidak salah juga kekerasan (baik secara fisik maupun verbal) terhadap perempuan akan terus terulang.
Kini bukanlah zamannya. Saatnya sekarang perempuan harus melawan. Saatnya kaum perempuan di seluruh dunia bersatu menyuarakan “hentikan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan”.
Hadirnya pemerintah dan masyarakat sangat penting dirasa. Pemerintah sebagai pengayom dan masyarakat yang notabene terdekat dengan sebuah peristiwa bisa hadir sebagai bentuk peduli kepada sesama.
Ini bukanlah hal sepele, tetapi merupakan masalah yang besar. Jika tidak segera ditangani dengan baik, maka generasi penerus akan mengalami kemerosotan moral dan pemerintah dianggap gagal dalam melindungi hak warga negaranya khususnya perempuan.
Hal ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum. Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.
Selain itu, hukuman 5 tahun penjara dan denda sebesar Rp15.000.000 (lima belas juta rupiah) yang tertuang dalam UUD Nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan terhadap dalam rumah tangga, sudah sangat sepadan dengan perlakuan pelaku kepada korban kekerasan terhadap perempuan.(*)