Editor: Redaksi | Reportase: Totok Waluyo
Tabanan, Porosinformatif | Negara Indonesia adalah Negara Hukum yang berdasarkan idiologi negara, Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ditegaskan di sana bahwa seluruh penyelenggara negara termasuk warga negaranya dalam segala tindakannya dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus berdasarkan hukum.
Namun kenyataannya banyak oknum penyelenggara negara dari tingkat pusat hingga daerah, termasuk warga negara biasa tersangkut kasus pidana seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme serta pungli.
Hal ini diungkap Dosen Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati (Unmas) Denpasar I Gusti Bagus Henki, B.A., S.H., S.Pd., M.H. saat mengisi materi penyuluhan aksos FH Unmas awal tahun 2022.
“Jadi dalam hukum tidak memandang siapa itu orangnya. Jika bersalah tetaplah harus dihukum,” ujarnya.
Diterangkannya, tindak pidana pungli di masyarakat bisa terjadi karena penyalahgunaan wewenang, faktor mental/karakter, faktor ekonomi, faktor budaya, serta lemahnya sistem kontrol dari aparat.
“Namun ingat, apa yang dilakukan (tindak pidana pungli) ada aturan hukumnya yang bisa menjerat ke ranah hukum,” tegasnya.
Sesuai KUHP disebutkan di beberapa pasal, yaitu pasal 368 dimana ASN melakukan pemerasan dengan ancaman hukuman pidana penjara 9 tahun. Pasal 415, oknum ASN menggelapkan uang dan surat berharga akan dikenai ancaman hukuman penjara 4 tahun.
“Menerima hadiahpun bagi ASN juga dilarang. Karena itu sudah diatur dalam pasal 418 KUHP,” terangnya.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 1999 junto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pungutan liar adalah termasuk tindakan korupsi dan merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang harus diberantas.
Tidak hanya itu, Presiden juga mengeluarkan Perpres Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli).
“Di bidang sosialpun juga ada aturannya. Hal ini diatur oleh Peraturan Mensos RI Nomor 8 tahun 2019 tentang tata cara pengelolaan dana sumbangan,” terang Henki.
Ia menambahkan, di dunia pendidikan pengelolaan dana sekolah diatur dalam Peraturan Mendikbud Nomor 44 tahun 2012.
Lebih lanjut dirinya menerangkan, tindak pungutan liar yang sering terjadi di masyarakat merupakan suatu tindakan yang tidak sesuai dengan kearifan lokal masyarakat adat Bali.
Selain itu juga tidak sesuai dengan filosofi Tri Hita Karana yaitu tiga hubungan yang harmonis, antara manusia dengan manusia, antara manusia dengan lingkungan, dan antara manusia dengan Sang Pencipta Ida Sang Hyang Widiwasa.
“Jadi ingat, dalam kepercayaan agama Hindu, kita harus yakin dengan Panca Seraddha. Apa itu? Percaya adanya Tuhan, percaya adanya atma, percaya adanya hukum karma, percaya adanya samsara, serta percaya adanya moksa,” jelasnya.
Dari sampaian materi, Henki menyimpulkan bahwa tindak pidana Pungli dalam perspektif hukum Karmaphala adalah perbuatan yang buruk (adharma), melanggar norma agama, norma hukum, norma adat, norma etika/susila, sehingga perbuatan yang buruk menghasilkan karma (buah perbuatan) yang buruk dan sanksi hukum Karmaphala yaitu Sancita, Prarabda dan Kriyamana yang bersifat hakiki, universal, menyeluruh, pasti tanpa kecuali tidak memandang suku, bangsa, ras, agama, jabatan, keturunan, serta status sosial ekonomi.(*)