Cermati Terminologi Penyitaan dan Pembatasan Objek Sita, Yogi Yasa Wedha dapatkan Gelar Doktor dari Universitas Udayana

Editor: Redaksi | Reportase: Totok Waluyo

Denpasar, Porosinformatif | Disertasi berjudul “Reformulasi Penyitaan Harta Tersangka Tindak Pidana Korupsi Sebagai Solusi dalam Pemenuhan Eksekusi Pembayaran Uang Pengganti” mengantar Ir. Yogi Yasa Wedha, S.H., M.H., M.M. menyandang gelar Doktor dari Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Ujian terbuka yang dilaksanakan di Denpasar pada hari Selasa (22/3/2022) ini menobatkan Dr. Ir. Yogi Yasa Wedha, S.H., M.H., M.M. sebagai lulusan dengan pujian atau cumlaude dengan IP 3.87 yang ditempuh selama 2 tahun 8 bulan.

Yogi dalam sampaian materi disertasinya mengungkap, penyitaan memiliki peran strategis tidak hanya untuk membuktikan terjadinya suatu tindak pidana, juga memiliki peran penting dalam mengembalikan setiap terjadinya kerugian keuangan negara, baik melalui pidana tambahan perampasan aset maupun melalui pidana tambahan pembayaran uang pengganti.

Dalam disertasinya menegaskan, KUHAP sebagai alas hukum dalam melakukan penyitaan, telah membatasi objek yang dapat disita pada tahap penyidikan. Sehingga hal ini dapat berdampak pada tidak optimalnya pemenuhan pembayaran uang pengganti.

“Sehingga pengembalian kerugian keuangan negara tidak terselesaikan sepenuhnya, pada akhirnya menciptakan ketidakadilan dan menghambat cita tujuan bernegara,” ujarnya.

Dosen sekaligus Advokat di SWA Law Office ini, dalam kajiannya juga menekankan tiga permasalahan yaitu mengenai urgensi reformulasi penyitaan harta tersangka tindak pidana korupsi, pengaturan penyitaan menurut hukum positif yang berlaku saat ini dan reformulasi pengaturan penyitaan sebagai ius constituendum.

Tidak hanya itu saja, dalam Pasal 18 ayat (2) UU PTPK juga terdapat kekaburan norma pada frase “dapat”.

“Kenapa dikatakan kabur? karena kata “dapat” memberikan makna yang ambiguitas yang mengakibatkan pelaksanaan sita eksekusi tidak berjalan sesuai yang dikehendaki bahkan illusoir atau hampa,” tandasnya.

Di akhir sidang terbukanya, Yogi yang juga Direktur di Panakom ini memberikan catatan penting bahwa perluasan instrumen penyitaan dimaksudkan agar nantinya bisa digunakan menjadi alas hukum sekaligus literasi dalam melakukan sita eksekusi guna pemenuhan eksekusi pembayaran uang pengganti yang muaranya dapat memitigasi terjadinya kerugian yang dialami oleh negara.

Adapun novelty dari penelitian yang dilakukan yaitu perlu segera melakukan reformulasi instrumen penyitaan terkait dengan  redefinisi terminologi penyitaan, perluasan waktu penyitaan, perluasan objek sita, serta revisi Pasal 18 ayat (2) UU PTPK khususnya pada frase kata “dapat” menjadi kata “wajib”. 

Kelayakan dari disertasi telah diuji oleh tujuh tim penguji, dimana sebagai promotor adalah Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, S.H., M.S. Ko Promotor satu Dr. Gede Made Swardhana S.H., M.H. dan sebagai ko-promotor dua Dr. Putu Gede Arya Sumertha Yasa S.H., M.Hum.(*)