Opini:
Ni Made Sugiantari, S.H.
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Dwijendra University
dan
Legal Staff Law Firm Togar Situmorang
Dilihat dari perspektif Undang-Undang Advokat Nomor 18 tahun 2003 di Indonesia, khususnya di Bali banyak pengacara yang biasanya diminta untuk memberikan konsultasi hukum.
Memberikan bantuan hukum, menjalankan kuasa mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien pidana maupun perdata.
Klien sendiri merupakan orang, badan hukum, atau lembaga lain yang menerima jasa hukum dari advokat.
Masih di UU yang sama, tepatnya pada Pasal 32, istilah advokat merujuk pada advokat, penasihat hukum, pengacara praktik, dan konsultan hukum, selain itu advokat/pengacara juga memilik hak retensi, hak substitusi dan hak honorarium.
Selain itu ada perjanjian lainnya, perjanjian yang dimaksud ialah perjanjian jasa hukum, biasanya ada beberapa kantor hukum yang menggunakan PJH (perjanjian jasa hukum) ini, guna memberikan paham dari tugas dan kewajiban serta kewajiban klien memenuhi hak honorarium/fee operational dan sukses fee serta kooperatif dalam isi perjanjian tersebut.
Namun sangat disayangkan sekali jika permasalahan hukum dan atau peristiwa hukum yang sudah diselesaikan secara hukum pidana maupun perdata, klien tidak mau memenuhi isi dalam perjanjian yang disebut juga sukses fee sesuai kesepakatan bersama.
Maka ada dugaan melakukan wanprestasi/cidera janji, pendapat saya, untuk masyarakat yang memiliki permasalahan hukum pidana maupun hukum perdata.
Guna mencari solusi dan tidak menambah permasalahan ada baiknya dibaca berulang kali, memantapkan hati, dan dipahami serta diskusikan dengan keluarga atau teman sebelum penandatanganan dilakukan, agar tidak ada masalah di kemudian hari.***