Hukum Positif harus Dipisahkan dari Moral

Opini:
I Putu Dika Ardistia Oka
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Dwijendra University

Sebuah kasus di tahun 2009 yang sempat menjadi perhatian publik yaitu seseorang yang bernama Nenek Minah, berumur 55 tahun telah mengambil 3 biji buah kakao milik PT Rumpun Sari Antan (RSA).

Perbuatan nenek Minah tersebut diketahui oleh Mandor perkebunan, dan pada saat itu juga nenek Minah telah mengembalikan biji kakao yang diambilnya dan meminta maaf.

Hanya saja pihak perusahaan tetap melaporkan kepada Polisi.

Akhirnya dalam berkas perkara Nomor No. 247/PID.B/2009/PN.Pwt, nenek Minah harus menjalani persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto.

Hingga pada Kamis 19 November 2009, majelis hakim yang dipimpin Muslih Bambang Luqmono, S.H. memvonisnya 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama 3 bulan.

Nenek Minah dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 362 KUHP tentang pencurian.

Kasus nenek Minah di atas mendapat perhatian publik, di karenakan dianggap sebagai sebuah kasus yang berbenturan pula dengan nilai-nilai kemanusiaan dan hati nurani.

Hanya saja putusan hakim tersebut, bukanlah sesuatu yang salah dalam cara menegakkan hukum.

Dalam khasanah filsafat hukum, cara berpikir demikian terjabar melalui mahzab atau aliran Positivisme Hukum yaitu hakim melakukan telaah dalam hakikat hukum atau kebenaran hukum yang tekstual.

Aliran Positivisme Hukum ini merupakan sumbangsih dari John Austin, yang mana dikatakan bahwa hukum yang berlaku (hukum positif) harus dipisahkan dari moral.

Hal ini dikuatkan dengan pemikiran Hans Kelsen yang menyatakan bahwa “hukum ditaati bukan karena dinilai baik atau adil, tetapi karena hukum itu telah ditulis dan disahkan penguasa”.

Melalui kebenaran paradigma positivism, apa yang terjadi pada kasus Nenek Minah, semestinya dapat dipahami.

Hakim sebagai penganut paradigma ini sedang menjalankan keyakinan atas kebenaran sebagaimana panduan paradigma tersebut, dan itu sah untuk dilakukan.

Hanya saja selain paradigma tersebut, terdapat juga beberapa hal yang harus diperhatikan pula oleh hakim mengenai tanggung jawab profesi hakim yaitu salah satunya wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Serta dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (UU 49/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).

Dapat disimpulkan, hakim yang memutus kasus Nenek Minah, telah menerapkan kedua pertimbangan ini, sehingga Nenek Minah tetap divonis bersalah karena memang hal ini terbukti di persidangan, hanya saja sudah diberikan hukuman yang lebih “manusiawi’ dan mencerminkan nilai-nilai moral dalam masyarakat.***