“Merdeka Belajar” Kurikulum Berbasis boleh Memilih?, Antara Harapan dan Kenyataan

Syaiful Qadar Basri
Mahasiswa S3 Teknologi Pendidikan UNESA

Porosinformatif| Mengawali tahun 2022, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim kembali memberikan usulan kurikulum pembelajaran bagi keseluruhan lembaga pendidikan. 

Menuju akhir tahun ini, para pimpinan lembaga pendidikan tidak ingin terburu-buru dalam penerapannya. Sehingga, kendati usulan ini sudah diumumkan sejak awal tahun, tapi selama beberapa bulan berjalan, usulan kurikulum terbaru yakni Kurikulum Merdeka alias kurikulum berbasis projek belum 100% diterapkan.

Ada beberapa komponen yang tampaknya belum benar-benar diperhatikan oleh penentu kebijakan di negeri ini dalam kaitannya tentang dunia pendidikan.

Salah satu komponen penting dalam pendidikan yang sering diabaikan adalah kurikulum.

Kurikulum memiliki posisi strategis karena secara umum kurikulum merupakan deskripsi dari visi, misi, dan tujuan pendidikan sebuah bangsa.

Hal ini sekaligus memposisikan kurikulum sebagai sentral muatan-muatan nilai yang akan ditransformasikan kepada peserta didik.

Arah dan tujuan kurikulum pendidikan akan mengalami pergeseran dan perubahan seiring dengan dinamika perubahan sosial yang disebabkan oleh berbagai faktor, baik internal maupun eksternal.

Karena sifatnya yang dinamis dalam menyikapi perubahan, kurikulum mutlak harus fleksibel dan futuristik.

Ketimpangan-ketimpangan dalam disain kurikulum karena kurang respon terhadap perubahan sosial boleh jadi berkonsekuensi kepada lahirnya output pendidikan yang ‘gagap’ dalam beradaptasi dengan kondisi sosial yang dimaksud.

Atas dasar pertimbangan ini, maka pengembangan kurikulum menjadi salah satu tugas pokok pemerintah untuk mengatur dan mengembangkan pendidikan.

Demikian juga halnya dengan peran tokoh maupun pemerhati pendidikan agar mengikuti setiap episode dari perubahan sosial, karena semua itu akan menjadi bahan pertimbangan dalam mendisain serta mengembangkan kurikulum.

Selain itu, partisipasi masyarakat aktif juga sangat diharapkan untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam merespon setiap perubahan.

Idealnya, penentuan kebijakan kurikulum pada satuan pendidikan selalu berdasar pada satu tujuan dasar kehadiran pendidikan yakni untuk mencerdaskan bangsa.

Sehingga perencanaan dan strateginya harus lebih matang dan tak boleh tergesa- gesa. Stigma yang terkadang muncul di negri ini, setiap pergantian penentu kebijakan, maka dengan demikian kebijakan itu maka akan berganti pula.

Banyak hal yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum, mulai dari pemahaman teori dan konsep kurikulum, asas-asas kurikulum, macam-macam model konsep kurikulum, anatomi dan desain kurikulum, landasan-landasan pengembangan kurikulum dan lain-lain yang berkaitan dengan proses pengembangan kurikulum.

Pengembangan kurikulum tidak hanya merupakan abstraksi, akan tetapi mempersiapkan berbagai contoh dan alternatif untuk tindakan yang merupakan inspirasi dari beberapa ide dan penyesuaian-penyesuaian lain yang dianggap penting.

Menurut Audrey Nicholls dan Howard Nicholls, sebagaimana dipahami oleh Oemar Hamalik, bahwa pengembangan kurikulum adalah perencanaan kesempatan- kesempatan belajar yang dimaksudkan untuk membawa siswa ke arah perubahan-perubahan yang diinginkan dan menilai sampai di mana perubahan dimaksud telah terjadi pada diri siswa. (2010:90, Oemar Hamalik, Manajemen Pengembangan Kurikulum)

KURIKULUM BERBASIS PROJEK?? ANTARA HARAPAN, TUJUAN DAN KENYATAAN

Menurut BSNP atau Badan Standar Nasional Pendidikan, pengertian kurikulum merdeka belajar adalah suatu kurikulum pembelajaran yang mengacu pada pendekatan bakat dan minat.

Di sini, para pelajar (baik siswa maupun mahasiswa) dapat memilih pelajaran apa saja yang ingin dipelajari sesuai dengan bakat dan minatnya.

Kurikulum atau program Merdeka Belajar ini diluncurkan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim pada awal tahun 2022 sebagai bentuk dari tindak evaluasi perbaikan Kurikulum 2013.

Sebelumnya, kurikulum ini juga disebut sebagai Kurikulum Prototipe yang merupakan salah satu bagian dari upaya pemerintah untuk mencetak generasi penerus yang lebih kompeten dalam berbagai bidang.

Dalam setiap penerapan kebijakan, tentu ada kelebihan dan kekurangan yang senantiasa mengiringi. Demikian halnya dengan penerapan Kurikulum Merdeka pada berbagai tingkat satuan pendidikan.

Kelebihan yang paling mencolok dari penerapan kurikulum ini adalah adanya proyek tertentu yang harus dilakukan oleh para peserta didik sehingga dapat membuat mereka menjadi lebih aktif dalam upaya mengeksplorasi diri. Selain itu, kurikulum ini juga lebih interaktif dan relevan mengikuti perkembangan zaman.

Meski begitu, pada kenyataannya penerapan Kurikulum Merdeka tak lepas dari berbagai kekurangan.

Pertama, Belum matangnya persiapan kurikulum ini, sehingga menjadikan peserta didik serta guru mengalami kesulitan dalam menjalankan kurikulum meredeka. Istilah “boleh memilih”, di lapangan, peserta didik hanya sekedar ingin dan memilih, hal itu sangat terasa pada dunia pendidikan tingkat tinggi, bagaimana terkadang peserta didik merasa kebingungan menjalani sebuah pembelajaran (misal sebuah mata kuliah) yang akhirnya sudah terlanjur memilih ya harus diselesaikan.  

Kedua, sistem pendidikan yang belum terencana dengan baik, di Indonesia jenjang pendikan sangat banyak, dengan adanya kurikulum merdeka belajar ini, terkesan wajib dilaksanakan pada setiap jenjang pendidikan.

Semisal penerapan kurkulum merdeka belajar untuk tingkat pendidikan tinggi, salah satunya pemerintah mengusulkan program magang Kampus merdeka, tapi pada kenyataannya pemberian insentif masih terhalang panjangnya birokrasi, sehingga tak jarang mahasiswa merasa kurang optimal menjalankan program tersebut.

Ketiga, Kurangnya Fokus Pembelajaran. Aspek pembelajaran merupakan hal penting dalam perkembangan sebuah kurikulum.

Pada satuan pedidikan tertentu, misal pada pendidikan tinggi, mata kuliah yang mulanya terpisah kini digabung dengan harapan lebih meringkas waktu mengajar, mata kuliah yang sebelumnya ada kini menjadi ditiadakan karena penentu kebijakan merasa hal itu dapat dijadikan satu dan diringkas. Dari harapan itu terkadang memunculkan kelemahan yakni peserta didik menjadi tidak fokus karena dalam satu waktu mereka mempelajari dua topik yang berbeda.

Hal itu dirasakan betul semisal pada satu mata kuliah yakni semisal Penyutradaraan teater dan Film. Mahasiswa dipaksakan mempelajari dua kategori ilmu yang sangat luas dalam satu waktu.

Keempat,  kurangnya SDM yang mumupuni. Terkait kurikulum merdeka belajar yakni dalam hal sumber daya manusia. SDM yang dimaksud adalah guru sebagai pengajar dan fasilitator pendidikan yang belum cukup bekal untuk menerapkan kurikulum baru.

Kurikulum merdeka belajar sangat mengedepankan adaptasi terhadap teknologi, sedangkan tidak sedikit guru yang kurang paham dan melek teknologi.

Sebenarnya kurang paham menjadi wajar karena sebagian guru telah berusia lanjut, sehingga perlu waktu untuk bias mengikuti perkembangan teknologi yang sangat cepat.

Lebih lanjut terkadang ada guru yang mungkin sebagian guru bias melek teknologi, namun hal lain yang dihadapi adalah fasilitas teknologi itu sendiri yakni tidak semua sekolah di daerah yang memiliki fasilitas teknologi yang mumpuni begitu juga dengan siswa dan oran tua siswa.

Tepat di akhir tahun 2022 ini, tampaknya seluruh komponen negara ini perlu untuk melakukan evaluasi dan peninjauan mengingat, stigma kurikulum negara ini yang terkadang menjadi momok bagi kita pelaku pendidikan, dan bahkan lebih-lebih pada peserta didik, mengingat tahun 2024, bangsa ini akan melaksanakan perayaan besar tentang kebijakan dan perkembangan negara ini.

Harapannya adalah perkembangan kurikulum harusnya lebih mengedepankan kebutuhan dan karakteristik sebuah bangsa.***