Bali Berkontribusi dalam Pengembangan Ekonomi Syariah Kawasan Timur Indonesia

Denpasar, Porosinformatif| Meskipun dikenal sebagai daerah dengan mayoritas penduduk non-Muslim, Provinsi Bali menunjukkan komitmen yang kuat dalam mendukung pengembangan ekonomi syariah di Indonesia.

Hal ini tampak dalam keikutsertaannya dalam rangkaian Festival Ekonomi Syariah (FESyar) Kawasan Indonesia Timur, serta partisipasi yang direncanakan dalam Indonesia Syariah Economic Festival (ISEF) pada November mendatang.

Dalam berbagai acara pada kegiatan Training of Trainers Ekonomi Syariah yang merupakan bagian dari FESyar 2025, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali, Erwin Soeriadimadja menekankan pentingnya peran Bali dalam mendorong pertumbuhan ekonomi syariah nasional.

“Meski jumlah penduduk muslim di Bali tergolong kecil, namun kontribusi Bali tidak bisa dianggap remeh. Beberapa pelaku usaha dan UMKM berbasis syariah di Bali siap berkontribusi dalam FESyar dan ISEF mendatang,” ujarnya.

Pertumbuhan ekonomi syariah secara nasional dinilai sangat positif, dengan kredit perbankan syariah tumbuh sebesar 15% dan Dana Pihak Ketiga (DPK) tumbuh sekitar 7%.

Di Bali sendiri, meski skalanya masih kecil, pembiayaan syariah telah mencapai hampir Rp4 triliun, sedangkan DPK mencapai Rp3,3 triliun.

“Angka ini menunjukkan geliat yang signifikan dalam pengembangan keuangan syariah di Pulau Dewata,” ungkapnya.

Bank Indonesia terus mendukung pengembangan ekonomi syariah sebagai bagian dari kebijakan yang pro stabilitas dan pro pertumbuhan.

Stabilitas ekonomi dijaga melalui kebijakan nilai tukar dan makroprudensial, sedangkan pertumbuhan ekonomi didorong melalui program penguatan UMKM, internasionalisasi produk, digitalisasi, dan pengembangan ekonomi syariah.

Kepala Perwakilan BI Bali juga membagikan tiga pelajaran penting selama bertugas, yaitu:

  1. Pentingnya edukasi dan literasi ekonomi syariah. Literasi yang berkelanjutan sangat penting untuk membumikan prinsip-prinsip ekonomi syariah seperti larangan riba, keadilan distribusi, zakat, dan kemitraan.
  2. Perlu adanya implementasi nyata.
    Konsep pemberdayaan ekonomi syariah harus diwujudkan dalam bentuk proyek nyata, seperti pembiayaan UMKM syariah, penguatan Industri Kreatif Syariah, dan digitalisasi integrasi.
  3. Sinergi dan kolaborasi lintas sektor.
    Pengembangan ekonomi syariah memerlukan kolaborasi antara pemerintah, perbankan, pesantren, masyarakat, dan institusi seperti MUI, BPJPH, dan Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS).

Di sisi lain, data dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menunjukkan bahwa industri halal kini menjadi gaya hidup global.

Negara-negara seperti Cina, Amerika, Brasil, dan Korea bahkan mencatat ekspor produk halal hingga miliaran dolar AS, menandakan potensi pasar halal yang sangat besar dan terbuka untuk semua negara, tanpa memandang mayoritas agama.

“Ekonomi syariah sejatinya adalah sistem inklusif, terbuka bagi semua, dan berorientasi pada keadilan serta kebermanfaatan. Prinsip-prinsipnya seperti pembagian risiko, produktivitas sektor riil, dan keadilan sosial dapat diterapkan dalam berbagai konteks masyarakat,” jelasnya.

Melalui kegiatan Training of Trainers ini, Bank Indonesia berharap terciptanya penggerak-penggerak ekonomi syariah di daerah yang mampu menjadi mitra strategis dalam memperluas pemahaman dan penerapan prinsip syariah dalam ekonomi nasional.

Sebagai penutup, ia menekankan pentingnya dukungan media, ilmuwan, dan lembaga-lembaga penelitian untuk terus memberikan masukan dan strategi dalam memajukan ekonomi syariah ke depan.***