Oleh: Adv. Totok Waluyo, S.H., C.NSP., C.SC., C.MSP.
Ketua Peradi Utama DPW Bali
Bali, Porosinformatif| Berita tentang kebebasan Dimas Kanjeng Taat Pribadi setelah menjalani sembilan tahun dari total hukuman 20 tahun penjara menuai sorotan tajam.
Bagaimana tidak? Publik masih mengingat dengan jelas bagaimana pria ini memimpin praktik penipuan berskala masif, mengklaim mampu menggandakan uang dan memperdaya ribuan orang.
Lebih tragis lagi, kasus ini tak hanya soal kerugian materi, tapi juga menyangkut hilangnya nyawa dan rusaknya kepercayaan masyarakat terhadap nilai-nilai spiritual.
Kini, hanya sembilan tahun berselang, Dimas Kanjeng telah menghirup udara bebas. Alasan yang beredar? Remisi, asimilasi, atau berbagai keringanan hukuman lain yang kerap menjadi “jalan keluar cepat” bagi narapidana, termasuk untuk kejahatan luar biasa sekalipun.
Pertanyaannya: apakah hukuman tersebut benar-benar setimpal?
Sebagai masyarakat, kita berhak mempertanyakan apakah sistem hukum kita benar-benar menempatkan keadilan sebagai prinsip utama.
Dimas Kanjeng bukan pelaku kriminal biasa. Ia memanfaatkan pengaruh spiritual, menciptakan kultus, dan mengeksploitasi kepercayaan orang demi kepentingan pribadi.
Ribuan orang tertipu, uang mereka hilang, dan banyak yang mengalami trauma mendalam. Beberapa bahkan kehilangan nyawa karena terlibat terlalu jauh.
Kejahatan model seperti ini sangat kompleks dan berbahaya, karena memadukan manipulasi psikologis, eksploitasi ekonomi, dan penyalahgunaan kepercayaan.
Namun, saat hukum hanya menjatuhkan vonis 20 tahun dan pelaku bebas setelah 9 tahun, muncul kekhawatiran besar:
Apakah sistem kita cukup kuat untuk memberikan efek jera?
Kebebasan dini Dimas Kanjeng juga berpotensi mengirim pesan yang salah kepada masyarakat: bahwa kejahatan bisa ditebus dengan waktu yang relatif singkat, apalagi jika tahu “jalur cepat” untuk memperoleh remisi.
Dalam jangka panjang, ini bisa menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap sistem peradilan dan memperlemah semangat penegakan hukum.
Bukan berarti kita menolak prinsip kemanusiaan dalam hukum, seperti remisi atau reintegrasi sosial.
Namun, untuk kasus-kasus tertentu dengan dampak sosial besar dan kerugian sistemik, sudah waktunya ada peninjauan ulang terhadap standar pemberian keringanan hukuman.
Keadilan bukan hanya soal menghukum, tapi juga soal memberikan kepastian kepada korban bahwa negara berdiri di pihak mereka.
Jika pelaku kejahatan besar bisa keluar begitu cepat, lalu siapa yang melindungi korban?***