Pentaskan Monolog ‘Musim Maut’, Galuh Coba Ungkap Fenomena Yang Tidak Memanusiakan Jenazah

Editor : Totok Waluyo | Reportase : Sumi Hidayah

Surabaya, Porosinformatif – Monolog ‘Musim Maut’ oleh Seniman Jawa Timur Galuh Tulus mencoba merespon dan mengungkap fenomena yang tidak memanusiakan jenazah korban Covid-19.

Monolog yang dipentaskan beberapa waktu lalu di Sanggar Anak Merdeka Indonesia (Surabaya) pada 28 Maret 2021 dan Hotel Grand Mulia Sakinah (Pasuruan) pada 1 April 2021 ini, merupakan gambaran bagaimana pengubur melakukan proses pemakaman yang jauh dari kata layak.

“Setahun lebih pandemi Covid-19 sudah melanda di Indonesia bahkan dunia. Memang banyak yang sembuh, namun tidak sedikit yang meninggal. Dari sinilah permasalahan timbul mbak, banyak kita saksikan proses penguburan yang jauh dari kata layak, karena tidak memanusiakan jenazah korban,” bebernya kepada Porosinformatif.

Menurutnya, dari hasil manifestasi pengamatan dan pengumpulan data, kemudian dirinya mengimplementasikan dalam sebuah pementasan monolog dengan judul ‘Musim Maut’.

Dengan menyeret mayat, melemparkannya, melihat jenazah yang sudah terkubur dan kemudian diangkatnya kembali.

“Pementasan “Musim Maut” tidak hanya untuk wabah Covid-19 saja. Hal ini berlaku pada jenazah bencana, wabah, dan perang yang mana sering terjadi kematian massal di sana,” terangnya.

Iapun menambahkan, fenomena proses pemakaman yang dituangkan dalam pertunjukan dapat diinterpretasikan penonton bahwa rasa kemanusiaan telah semakin terkikis dari seseorang karena kita telah terbiasa dengan suguhan komersialisasi peristiwa-peristiwa miris.

“Sehingga komersialisasi pada penderitaan menjadikan empati menjadi semakin menurun,” ujarnya.

Dalam pertunjukan ini, Galuh yang juga merupakan pelaku Teater Api Indonesia menggunakan artistik daun-daun yang berserakan.

Ia menggunakan tubuhnya sebagai media penyampai pesan bagaimana nasib pengubur dan yang dikubur sama-sama tersiksa dan tak berdaya.(*)