Editor: Redaksi | Reportase: Totok Waluyo
Denpasar, Porosinformatif| Maraknya pengingkaran janji kaum laki-laki kepada perempuan di Bali khususnya menjadikan salah satu dosen Fakultas Hukum Dwijendra University meraih gelar doktor hukumnya.
Dr. Ni Made Liana Dewi, S.H., M.H. resmi menyandang gelar doktor hukum setelah berhasil mempertahankan disertasinya dihadapan ketujuh penguji, Jumat (13/5/2022).
Sidang terbuka dipimpin langsung Dekan Fakultas Hukum universitas Udayana Dr. Putu Gede Arya Sumerta Yasa, S.H., M.Hum; Promotor Prof. Dr. I Nyoman Sirtha S.H., M.S; Ko Promotor I Dr. I Dewa Made Suartha, S.H., M.H. Ko Promotor II Dr. I Nyoman Suyatna, S.H., M.H; sebagai penguji Dr. I Gede Artha, S.H., M.H; Dr. A. A. Istri Ari Atu Dewi, S.H., M.H; Prof. Dr. I Wayan Windia, S.H., M.Si; Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, S.H., M.Si.
Disertasi yang berjudul “Prospek Kriminalisasi terhadap Pelaku Lokika Sanggraha dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional” membawa Dr. Ni Made Liana Dewi, S.H., M.H. meraih hasil sangat memuaskan dengan nilai IPK 3,86 yang pendidikannya ditempuh selama 3 tahun 10 bulan.
Lokika Sanggraha merupakan suatu hubungan antara laki-laki dan perempuan yang didasari oleh suka sama suka, tidak jarang berujung merugikan kaum perempuan.
Dengan memberikan janji untuk bertanggungjawab, namun pada akhirnya kaum perempuanlah yang menjadi korban dengan menanggung rasa sakitnya saat mengandung dan bahkan sampai melahirkan sang anak dari hasil hubungan tersebut.
Dasar inilah yang menggugah Ni Made Liana untuk membuat suatu penelitian agar para kaum laki-laki juga bisa menerima hukuman sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum yaitu ingkar janji, melakukan penipuan dan bahkan sampai membuat kesengsaraan bagi korban yakni kaum perempuan.

Saat di depan podium, Liana menegaskan bahwa pelaku lokika sanggraha murni merupakan pelanggaran hukum adat, namun dirinya mencoba untuk membawa ke ranah hukum pidana.
Alasannya sederhana, agar para pelaku ini mendapatkan efek jera.
Mengacu pada UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) menyatakan, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
“Artinya negara sudah hadir disini guna mengakui adanya hukum adat. Namun itu tidaklah cukup, karena dalam hukum adat belum mengatur secara signifikan sanksi bagi para pelaku lokika sanggraha. Dan ini harus dikriminalisasikan ke hukum nasional, agar tidak banyak lagi kaum perempuan yang menjadi korban,” tegasnya saat menjawab pertanyaan dari tim penguji.
Tidak hanya itu, berdasarkan hukum pidana adat di Indonesia yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-undang Darurat Nomor 1 tahun 1951, dikatakannya sudah sangat jelas pengaturan dalam memberikan sanksi kepada pelaku pelanggar adat. Bilamana sanksi adat yang dijatuhkan kepada pelaku berupa sangaskara danda (hukuman dalam bentuk upacara adat), artha danda (hukuman berupa pembayaran sejumlah uang atau harta), dan jiwa danda (hukuman fisik) tidak dilakukan, maka pelaku bisa dikenakan sanksi pidana penjara selama paling lama tiga bulan.
“Sebenarnya inipun juga belumlah sepadan dengan apa yang ditanggung oleh korban. Korban menanggung beban 9 bulan saat hamil, dan belum lagi mengasuh anak yang nantinya akan dilahirkannya,” tegasnya.
“Nah mirisnya lagi, beberapa tahun terakhir ada kasus delik adat lokika sanggraha di Bali diputuskan majelis pengadilan tidak berhak menerima hukuman. Contoh hasil putusan Pengadilan Negeri Denpasar nomor 997/pid.sus/2019/PN Dps. Dalam putusan ini, majelis hakim yang memeriksa merasa tidak berwenang untuk menjatuhkan sanksi adat,” terang Liana.
“Sebenarnya jika merujuk dari fakta yang terjadi di tengah masyarakat pastinya banyak sekali kasus lokika sanggraha ini terjadi. Tapi korban enggan melaporkan karena merasa malu. Padahal yang dikhawatirkan, dengan memendam rasa sakit pada diri korban, nantinya malah akan melakukan hal lain yang merugikan diri korban sendiri,” tandasnya.
Di akhir acara, Dr. Ni Made Liana Dewi, S.H., M.H. menyarankan agar segera diadakannya pengaturan terhadap delik lokika sanggraha dalam Kitab adi Agama, memberlakukannya hukum adat sebagai hukum yang hidup di masyarakat dan menjadikan kewajiban hakim untuk mengikuti gerak dinamika hukum, serta mengupayakan kriminalisasi pelaku delik adat lokika sanggraha di masa yang akan datang.(*)