Dilema Hukum dalam Menangani Kasus Anak

Opini:
Alisha Fasya Khoirunissa
NIM: 121010010
Mahasiswa Pertukaran Pelajar MBKM
Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon

Pada saat ini di Indonesia banyak sekali kasus mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh anak.

Persinggungan anak dengan tindak pidana menjadi awal mula anak berhubungan dengan hukum.

Tak hanya bagi yang melakukan tindak pidana, dari kasus yang muncul, ada kalanya anak juga dapat berada dalam status sebagai saksi atau korban.

Menangani anak yang berhadapan dengan hukum, senantiasa harus memperhatikan kondisi anak yang berbeda dari orang dewasa.

Sifat dasar anak sebagai pribadi yang masih labil, masa depan anak sebagai aset bangsa, dan kedudukan anak di masyarakat yang masih membutuhkan perlindungan dapat dijadikan dasar untuk mencari suatu solusi alternatif penempatan anak dalam kedudukan anak sebagai objek hukum.

Sehingga adapun peraturan terkait anak yang berhadapan dengan hukum pun telah dibuat pemerintah.

Salah satunya adalah UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Menurut UU ini sistem peradilan pidana anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai dari penyelidikan hingga tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.

Mengacu pada undang-undang ini, anak yang berhadapan dengan hukum terdiri dari:

  1. Anak yang berkonflik dengan hukum: anak yang telah berusia 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana; anak yang menjadi korban tindak pidana (anak korban),
  2. Anak yang belum berumur 18 tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana; dan anak yang menjadi saksi tindak pidana (anak saksi),
  3. Anak yang belum berumur 18 tahun yang dapat memberikan keterangan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.

Dibuatnya undang-undang ini bertujuan agar peradilan benar-benar menjamin perlindungan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum mengingat anak merupakan generasi penerus bangsa.

Selain itu, adanya peradilan pidana anak juga untuk mengatur secara tegas mengenai keadilan restoratif yang dimaksudkan untuk menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.

Dengan dibuatnya peraturan ini, diharapkan anak yang berhadapan dengan hukum dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.

Adapun hak anak dalam proses peradilan pidana yaitu dengan mempertimbangkan perlindungan terhadap harkat dan martabat anak, terdapat ketentuan khusus yang harus dilakukan penegak hukum dalam memperlakukan anak yang berhadapan dengan hukum.

Setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak:

• diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya, seperti beribadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya, mendapatkan kunjungan dari keluarga/pendamping, perawatan rohani dan jasmani, pendidikan dan pengajaran, pelayanan kesehatan dan makanan yang layak, bahan bacaan, serta menyampaikan keluhan, dan mengikuti siaran media massa;

• dipisahkan dari orang dewasa;

• memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;

• melakukan kegiatan rekreasional, seperti kegiatan latihan fisik bebas sehari-hari di udara terbuka. Anak juga harus memiliki waktu tambahan untuk kegiatan hiburan harian, kesenian, atau mengembangkan keterampilan.

• bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya. Perbuatan yang merendahkan derajat dan martabat anak, misalnya anak disuruh membuka baju dan lari berkeliling, anak digunduli rambutnya, diborgol, disuruh membersihkan toilet, serta anak perempuan disuruh memijat penyidik laki-laki;

• tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;

• tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;

• memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;

• tidak dipublikasikan identitasnya;

• memperoleh pendampingan orang tua/wali dan orang yang dipercaya oleh anak;

• memperoleh advokasi sosial;

• memperoleh kehidupan pribadi, di antaranya dibolehkan membawa barang atau perlengkapan pribadinya, seperti mainan, dan jika anak ditahan atau ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), anak berhak memiliki atau membawa selimut atau bantal, pakaian sendiri, dan diberikan tempat tidur yang terpisah.

• memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;

• memperoleh pendidikan;

• memperoleh pelayananan kesehatan;dan

• memperoleh hak lain sesuai dengan UU tentang Hukum Acara Pidana, yakni hak untuk tidak menghadiri sidang bagi anak yang belum mencapai umur 17 tahun dan mengikuti sidang tertutup bagi anak berusia lebih dari 17 tahun dan di bawah 18 tahun, serta hak menurut UU tentang Pemasyarakatan, seperti menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lain.

Permasalahan dilema hukum terhadap anak berhadapan dengan hukum dapat teratasi, sehingga dengan adanya Undang-Undang yang dibuat oleh pemerintah yang dimana dalam setiap proses pidana anak yang dilakukan oleh hukum lebih mengedepankan psikis Anak.

Dimana anak tidak merasa takut saat melaksanakan proses hukum baik anak itu sebagai korban maupun sebagai saksi.

Karena dilihat dari pandangan korban, seperti kasus besar, tetapi karena usia masih dibawah 18 tahun, maka hukuman yang diberikan relatif ringan, sehingga ini akan memicu korban atau keluarga korban merasa tidak adil.

Berdasarkan uraian diatas terlihat jelas bahwa penanganan anak berhadapan dengan hukum berbeda dengan penanganan terhadap orang dewasa yang berhadapan dengan hukum.

Dalam sistem peradilan pidana anak sangat mengutamakan penanganan perkara anak yang mengedepankan keadilan restoratif.***