Opini, Porosinformatif| Hofstede merupakan pioneer penelitian cross-cultural group. Hofstede telah menggambarkan budaya nasional tiap negara di dunia, termasuk Indonesia. Dimensi budaya tersebut yakni power distance, uncertainty avoidance, individualism, masculinity, long term orientation dan indulgence.
Indonesia memiliki jarak kekuasaan (power distance) yang tinggi, kebersamaan dalam masyarakat, sifat feminim, dan menghindari ketidakpastian. Apakah hal ini memang berlaku di semua ethnic group di Indonesia?
Indonesia memiliki nilai power distance yang tinggi. Hal ini berarti tingkat ketergantungan yang sangat tinggi pada hirarki, ketidaksetaraan antara pemegang kuasa dan rakyat biasa, dan pemimpin memiliki kekuasaan yang tinggi. Karyawan lebih mudah takut berselisih paham dengan atasan dan atasan dianggap lebih otokratis.
Atasan lebih dikonsentrasikan untuk pengambilan Keputusan sementara pelaksana keputusan dikonsentrasikan kepada pihak level bawah. Hal ini dicerminkan dengan “asal bapak senang”.
Uncertainty avoidance merupakan cara pandang menghadapi ketidakpastian. “Mengendalikan masa depan” atau “menerima masa depan”. Indonesia memiliki indeks penghindaran ketidakpastian yang cukup lemah sehingga tingkat kecemasan relative rendah, terkesan pendiam, santai, malas, dan terkendali. Sebagaimana pepatah Jawa mengatakan “Alon alon waton klakon” (pelan-pelan asalkan terlaksana). Keyakinan ini mendasari pandangan masyarakat sehingga cenderung memiliki stress yang rendah.
Individualism. Individualisme menekankan pada tingkat ketergantungan di dalam masyarakat. Cara pandang seseorang sebagai “saya” atau “kami”. Individualisme yang tinggi berfokus pada diri sendiri dan keluarga. Indonesia memiliki individualisme yang rendah, artinya lebih mengarah pada kolektivisme. Kelompok merupakan unit sosial yang dianggap paling penting. Kelompokpun akan menjaga anggotanya. Oleh karena itu penerapan kerja tim lebih banyak diterapkan pada masyarakat kolektivisme.
Masculinity. Menekankan akan masyarakat yang cenderung didorong oleh persaingan, prestasi dan kesuksesan. Sedangkan feminity lebih kepada kepedulian terhadap sesama. Indonesia memiliki tingkat masculinity cukup rendah. Masyarakat lebih menonjolkan kebersamaan daripada persaingan pencapaian kesuksesan masing-masing.
Long term orientation. Masyarakat Indonesia memiliki orientasi jangka panjang yang rendah atau merupakan masyarakat yang normative. Orientasi jangka pendek berfokus akan masa kini dan masa lalu. Mereka menghargai tradisi, hirarki sosial dan pemenuhan tugas.
Indulgence. Bagaimana masyarakat mampu mengontrol keinginan mereka. Masyarakat dengan indulgence tinggi lebih bebas dalam bertindak. Indonesia memiliki indulgence yang rendah (restraint), sehingga bersifat sinis, pesimis, dikekang norma sosial yang berlaku sementara “
Apakah skor Hofstede tersebut berlaku untuk semua etnic group di Indonesia?

Batak merupakan kelompok yang paling hierarkis dalam power distance. Hampir semua etnis memiliki individualisme yang rendah, kecuali etnis Minangkabau pada skor 52 (tingkat moderat). Yang menunjukkan pentingnya keluarga inti dalam sistem kekerabatan.
Etnis Minangkabau (skor 61) dan Cina-Indonesia (skor 67) memiliki ketakutan akan ketidakpastian yang rendah. Sedangkan dimensi masculinity pada Cina-Indonesia dan Batak memiliki sifat maskulin yang tinggi.
Secara rata-rata, kelima etnis group tersebut senada dengan skor Hofstede. Skor Hofstede masih relevan digunakan di Indonesia. Indonesia memiliki power distance yang besar, preferensi yang rendah dalam uncertainty avoidance, masculinity rendah, dan individualism rendah.***