Opini:
Ni Putu Yuniari Astuti
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Dwijendra University
Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) bukan lagi isu yang baru bagi masyarakat Indonesia.
Sudah terlalu banyak kasus yang bergulir ke meja persidangan.
Beberapa aktivis dan lembaga perlindungan perempuan juga telah dibentuk oleh negara untuk membela dan memperjuangkan hak para korban.
Ini menujukkan bahwa kesadaran masyarakat pada pencegahan KDRT semakin tinggi.
Namun, sedikit yang perlu diluruskan dari KDRT ini, yaitu pemikiran yang selalu menempatkan korban KDRT adalah perempuan, padahal laki-laki (suami) juga bisa menjadi korban.
Seperti beberapa kasus perceraiaan yang pernah terjadi, ada beberapa pihak istri yang justru melakukan KDRT kepada suaminya.
Hal tersebut terjadi dipicu oleh tekanan yang dirasakan istri atas perbuatan perselingkuhannya yang terus-menerus di permasalahkan oleh suaminya.
Kekerasan yang dialami oleh kedua pihak ini, istri mendapat kekerasan psikologis dan suami mendapat kekerasan fisik, menjadi bukti bahwa korban KDRT tidak mengenal jenis kelamin.
Baik suami maupun istri berpotensi menjadi korban di dalamnya.
Secara yuridis formal, KDRT ini telah diatur tersendiri dalam UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Pengertian korban dan siapa saja yang diduga korban juga sudah diuraikan di dalamnya.
Pada pasal 1 angka 3 disebutkan bahwa “Korban merupakan orang yang hadapi kekerasan serta atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.”
Terdapat beberapa tindakan yang dapat dikategorikan sebagai KDRT oleh UU Nomor 23 tahun 2004 ini, yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, serta kekerasan seksual.
Mengacu pada undang-undang ini, tidak semua tindak KDRT termasuk delik aduan.
Beberapa tindak KDRT dapat dikategorikan sebagai delik biasa.
Artinya, polisi tetap dapat dapat melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana KDRT yang terjadi walaupun tidak ada aduan dari korban atau laporan yang telah dibuat dicabut.
Secara filosofis kehadiran UU No 23 Tahun 2004 adalah guna menjaga harkat dan martabat manusia dari segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga dengan memberikan sanksi bagi pelakunya dan juga memperhatikan perlindungan korban serta bersifat mencegah terjadinya terhadap korban secara berulang.
Untuk menghadapi terjadinya KDRT, sangat dibutuhkan kesadaran dari berbagai pihak, baik pemerintah, masyarakat, dunia usaha, media massa, dan lain sebagainya untuk mendukung terwujudnya hubungan yang harmonis.***