Beri Pemahaman Hukum Lingkungan, FH Undwi Denpasar ajak Mahasiswa Kunjungi Lapangan Puputan

Denpasar, Porosinformatif| Fakultas Hukum Dwijendra University Denpasar kembali melakukan kegiatan pengabdian kepada masyarakat (PKM) dengan mengajak mahasiswa mengunjungi Lapangan Puputan yang terletak di titik nol Kota Denpasar, Jumat (18/11/2022).

Dekan FH Undwi Denpasar Dr. A. A. Sagung Ngurah Indradewi, S.H., M.H. menyampaikan, kegiatan PKM kali ini menyasar ke lapangan yang memiliki sejarah perjuangan bagi Kota Denpasar yaitu Lapangan Puputan.

Di mana di Lapangan Puputan inilah, rakyat Bali bertempur guna merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Selain menyediakan spot rekreasi bagi masyarakat, menurutnya Lapangan Puputan ini adalah saksi perjuangan.

Oleh karenanya, perlu dijaga kelestarian lingkungannya dengan mempelajari hukum lingkungan yang bisa dijadikan tambahan literasi bagi mahasiswa fakultas hukum, khususnya FH Dwijendra University Denpasar.

Di tempat yang berbeda, Ketua PKM Ni Putu Yunika Sulistyawati, S.H., M.Kn. menyampaikan, kegiatan PKM diikuti 12 mahasiswa dari FH Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon, 5 dosen FH Undwi, dan 3 mahasiswa FH Undwi.

Disinggung terkait tujuan kegiatan yang dilakukan di bawah rintik hujan sore ini, Yunika mengatakan, sebagai wujud nyata kepedulian civitas akademika terhadap lingkungan di sekitar Lapangan Puputan.

Tidak hanya itu, kegiatan ini disampaikannya juga merupakan implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi yang wajib dilaksanakan.

Pihaknya mengharapkan, melalui PKM ini mahasiswa, dan masyarakat bisa komitmen menjaga kelestarian alam.

Sekilas tentang Lapangan Puputan

Sekitar tahun 1906 tepatnya di tanggal 20 September 1906, di lapangan ikonik Kota Denpasar ini telah terjadi perang besar antara Belanda dengan Kerajaan badung yang dipimpin seorang Raja bernama i Gusti Ngurah Made Agung.

Kala itu, Pemerintah Hindia Belanda berpendapat dengan dikuasainya Kerajaan Badung maka setara dengan menguasai Pulau Bali secara keseluruhan.

Meski jumlah prajurit kerajaan dan lawan tak seimbang, Raja Badung yang memerintah saat itu, I Gusti Ngurah Made Agung, bersama rakyat tak gentar melawan kolonial. Semangat puputan pun berkobar.

Meski hanya dengan senjata tradisional, rakyat bersama melawan militer Belanda yang dilengkapi senjata modern.

Raja Badung ke-7 yang memimpin sendiri perang sejak 1902 hingga 1906 akhirnya gugur bersama rakyat.

Sebagai pengingat sejarah, pemerintah pada 12 November 1997, mendirikan Monumen Puputan Badung.

Monumen ini berupa tiga patung, terdiri dari perempuan, laki-laki, dan anak dengan pakaian serba putih memegang keris dan tombak sebagai senjata untuk berperang.

Bersamaan itu, terbitlah Surat Keputusan Wali Kota Denpasar Tahun 2009, lapangan pun resmi dinamakan Lapangan Puputan Badung I Gusti Ngurah Made Agung.

Warga biasa menyebutnya Lapangan Puputan Badung.***