Ini Alasan Etnis Jawa dan Sumatera Sering Menjadi Pemimpin

Editor: Totok Waluyo | Reportase: Rizka Septiana

Jakarta, Porosinformatif | Menjadi seorang pemimpin adalah impian banyak orang, Anda mungkin termasuk salah satunya. Setiap orang pun sejatinya mampu untuk bisa menjadi seorang pemimpin. Sayangnya, tidak semua orang bisa benar-benar jadi pemimpin.

Pada kenyataannya, menjadi seorang pemimpin yang baik itu tidak hanya sekadar tekad yang tinggi. Lebih jauh lagi, seorang pemimpin sejati haruslah didukung sejumlah kriteria tertentu yang didapat dari proses yang panjang dan konsisten.

Namun, pemimpin tidak hanya timbul begitu saja. Ada proses yang bisa membuatnya pantas dijadikan pemimpin. Selain proses dan pengalaman, faktor genetika juga bisa menjadi acuan seseorang bisa menjadi pemimpin atau tidak.

Menurut Guru Besar Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja, Prof Dr I Made Sutama, M.Pd. menegaskan, kontribusi faktor genetik seseorang untuk sukses menjadi seorang pemimpin hanya 30 persen dan 70 persen lainnya sangat tergantung dari hasil penempaan.

“Dengan demikian, semua orang punya potensi menjadi pemimpin yang perlu dipikirkan bagaimana menempanya,” kata Prof Sutama.

Perlu diketahui, seorang pemimpin juga harus memiliki komitmen, kompetensi, keberanian, ketajaman, fokus, murah hati, inisiatif, mau mendengarkan, memiliki semangat yang tinggi, bersikap positif, mampu memecahkan masalah, disiplin dan tidak merasa terancam.

Etnis Jawa dan Sumatera

Tak hanya dari faktor genetika saja seseorang bisa menjadi pemimpin, tetapi dari faktor etnis juga bisa menentukan, misalnya etnis Jawa.

Hal itu bisa dilihat dari Presiden Republik Indonesia dari masa ke masa. Hampir semua Presiden yang menjabat sejak merdeka, mereka berasal dari etnis Jawa, kecuali BJ Habibie yang berasal dari Sulawesi Selatan.

Presiden mulai dari Soekarno yang berasal dari Blitar, Soeharto dari Bantul, Abdurrahman Wahid dari Jombang, Megawati Soekarnoputri kelahiran Yogyakarta, Susilo Bambang Yudhoyono dari Pacitan, dan Joko Widodo asal Surakarta. Mereka mampu menjadi figur presiden dari etnis Jawa.

Menurut Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia, Aditya Perdana, Presiden Indonesia yang hampir selalu beretnis Jawa, menurut Adit disebabkan dominasi pemegang suara yang berada di pulau terpadat di Indonesia ini. Alhasil, jumlah penduduk yang amat besar ini harus diwakili sosok seorang pemimpin.

“Ya faktanya memang kan pemilih sebagian besar ada di Jawa, jadi artinya ketika bicara tentang politik identitas, maka alasan itu masuk akal. Bahwa pemimpin yang berasal dari kelompok yang besar, dia harus diwakili,” kata Adit.

Tak hanya etnis Jawa yang dinilai mampu menjadi pemimpin, etnis Sumatera juga bisa disandingkan. Sebut saja Moh Hatta. Wakil Presiden pertama Republik Indonesia ini berasal dari Sumatera Barat.

Pemimpin yang gemar membaca ini kerap dijuluki sebagai Bapak Pembangunan dan Bapak Koperasi Indonesia. Bagi Bung Hatta, kewajiban utama seorang pemimpin adalah membaca perasaan rakyat dan memberikan jalan kepada perasaan itu.

Seorang pemimpin harus bisa menangkap persoalan rakyat dari yang terkecil hingga terbesar. Juga mengetahui persoalan yang masih terpendam.

Lantas, bagaimana seorang pemimpin masa depan yang memiliki etnis Jawa dan Sumatera? Tentu pemimpin itu bakal menjadi sosok yang memiliki pemikiran layaknya Mohammad Hatta dan berjuang layaknya Soekarno.

Selain pemimpin di atas, tahukah kamu bahwa pemimpin beretnis Jawa dan Sumatera terdapat pada sosok Ketua DPR RI, Puan Maharani. Puan merupakan putri dari pasangan Taufiq Kiemas yang berasal dari Lampung dan Megawati Soekarno Putri yang berasal dari Yogyakarta. Perpaduan dua etnis Jawa dan Sumatera sangat kental pada Puan.

Tak hanya itu, wanita bernama lengkap Puan Maharani Nakshatra Kusyala Devi ini lahir dari darah keluarga politikus. Ayahnya adalah Ketua MPR, sementara kakek dan ibunya merupakan mantan Presiden RI.

Sebagai trah Soekarno, nama Puan Maharani juga dianggap banyak kalangan bakal menjadi penerus kepemimpinan di Partai Banteng.

Sejak muda, Puan memilih bergelut dengan politik mengikuti jejak ibunya, Megawati Soekarnoputri. Karier politiknya dirintis dengan menjadi anggota KNPI, lalu menjadi kader PDI-P, hingga kemudian melenggang ke Senayan sebagai anggota DPR RI periode 2009-2014. Dia dilantik menjadi anggota dewan di usia 36 tahun.

Kariernya sebagai politikus mulai menanjak sejak menjadi Ketua Fraksi PDIP di DPR menggantikan seniornya Tjahjo Kumolo.

Pada 2 pemilu berikutnya, Puan terpilih kembali menjadi anggota DPR. Kini, Puan Maharani didapuk sebagai Ketua DPR periode 2019-2024 atau jadi ketua parlemen pertama sepanjang sejarah Indonesia.

Kariernya di panggung politik membuat Puan Maharani kerap diberikan penghargaan. Salah satunya, mendapatkan tanda kehormatan Bintang Mahaputera Adipradana dari Presiden Joko Widodo.

Menurut Puan, penganugerahan tanda kehormatan itu menjadi pemacu bagi dirinya dalam mengabdi untuk masyarakat, bangsa, dan negara.

“Ini amanah yang harus saya sikapi dengan makin bersemangat mengabdi kepada masyarakat, bangsa dan negara,” ujar Puan.(*)