Gelar Kuliah Umum, Fakultas Hukum Unmas Denpasar Hadirkan Profesor Hukum dari Untar Jakarta

Denpasar, Porosinformatif| Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati (Unmas) Denpasar kembali menggelar kuliah umum dengan tajuk Hukum Lingkungan Hidup berbasis Kearifan Lokal.

Menghadirkan Prof. Dr. Mella Ismelina FR, S.H., M.Hum. seorang guru besar dari Universitas Tarumanegara asal Jakarta.

Kegiatan yang dilaksanakan bertempat di Aula Ganesha Universitas Mahasaraswati Denpasar ini diikuti oleh mahasiswa dari semester 4, baik reguler maupun eksekutif pada hari Jumat (17/3/2023).

Pada kesempatn tersebut, Prof. Dr. Mella yang juga Ketua Program Studi Doktor Hukum Untar Jakarta menyampaikan, empat unsur dalam lingkungan hidup, di antaranya ruang, benda, daya, keadaan, serta makhluk hidup (manusia dan perilakunya).

Keempat unsur ini, dikatakannya merupakan sesuatu yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

“Di sinilah peran manusia sangat mendominasi,” ujarnya.

Namun seiring perkembangan kehidupan, menurut Profesor Hukum ini, hubungan antara manusia dengan alam menjadi relasi yang tidak seimbang.

“Itu dikarenakan adanya kebutuhan dan keinginan manusia dan makhluk hidup yang meningkat. Sehingga membawa dampak terhadap lingkungan hidup itu sendiri,” katanya.

Berbicara terkait konsep kearifan lokal, Dr. Alexander Sonny Keraf, Menteri Negara Lingkungan Hidup pada Kabinet Persatuan Nasional tahun 2004-2009 menyatakan, tercatat sekitar 80% penduduk bumi memiliki kearifan lokal.

Kearifan lokal inilah yang dijadikan rujukan untuk hidup dan bertahan lama sebagai jawaban untuk kehidupan modern.

Tidak hanya itu saja, disampaikan lebih detail oleh Prof. Dr. Mella bahwa kearifan lokal ini sudah mengakar, bersifat mendasar, dan telah menjadi wujud perilaku dari suatu warga masyarakat guna mengelola dan menjaga lingkungan dengan bijaksana.

“Akan tetapi, kearifan lokal tidaklah sama pada tempat dan waktu yang berbeda dan suku yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh tantangan alam dan kebutuhan hidup yang berbeda, sehingga pengalamannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memunculkan berbagai sistem pengetahuan, baik yang berhubungan dengan lingkungan maupun sosial,” terangnya.

Seorang peneliti dan penulis buku serta artikel nasional maupun internasional ini juga menyampaikan, korelasi antara hukum, kebudayaan serta kearifan lokal.

Soerjono Soekanto seorang Lektor Kepala Sosiologi dan Hukum Adat di Fakultas Hukum Universitas Indonesia menyatakan bahwa hukum harus dianggap sebagai ekspresi dari suatu sikap kebudayaan.

“Artinya yaitu tertib hukum haruslah dipelajari dan dipahami secara fungsional dari sistem kebudayaan,” kata Prof. Dr. Mella.

Dirinya menekankan bahwa hukum merupakan konkretisasi dari nilai-nilai budaya dalam suatu masyarakat.

“Dengan kata lain, hukum merupakan penjelmaan dari sistem nilai-nilai budaya masyarakat,” ujarnya menambahkan.

Adapun fungsi lain daripada konsep kearifan lokal adalah:

  1. Sebagai penanda identitas sebuah komunitas,
  2. Sebagai elemen perekat (aspek kohesif) lintas warga, lintas agama dan kepercayaan,
  3. Kearifan lokal memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas,
  4. Mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan kelompok dengan
    meletakkannya di atas common ground/ kebudayaan yang dimiliki,
  5. Mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi sekaligus sebagai sebuah mekanisme bersama untuk menepis berbagai kemungkinan yang meredusir, bahkan merusak,
    solidaritas komunal, yang dipercayai berasal dan tumbuh di atas kesadaran bersama, dari sebuah komunitas terintegrasi.

Dalam bingkai norma, Prof. Dr. Mella menegaskan, kearifan lokal itu tidak hanya berhenti pada etika. Tetapi sampai juga pada norma dan tindakan serta tingkah laku.

Di mana hal ini memiliki tujuan untuk menjadikan kearifan lokal seperti religi yang memandu manusia dalam bersikap dan bertindak, baik dalam konteks kehidupan sehari-hari maupun menentukan peradaban manusia yang lebih jauh.

“Ini sesuai dengan Pasal 18 B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang,” tuturnya.

Sementara, di tempat yang sama, Dekan Fakultas Hukum Unmas Denpasar Dr. Kt. Lanang Sukawati P. Perbawa, S.H., M.Hum. menyebutkan kuliah umum yang menghadirkan narasumber yang tepat bertujuan agar Mahasiswa dapat memahami bagaimana penerapan hukum lingkungan secara nasional dan secara berkearifan lokal.

“Mengingat khususnya di Bali, terdapat konsep yang sejak dahulu mengatur hal tersebut yaitu konsep Tri Hita Karana, yang dimana konsep tersebut menerapkan adanya harmonisasi antara manusia dengan Tuhan, Manusia dan juga Alam atau Lingkungan,” katana.

Pada prinsipnya, menurut Dekan Fakultas Hukum Unmas Denpasar, lingkungan yang ada malah sering dirusak oleh peraturan itu sendiri.

“Misalnya adanya suatu perizinin pembangunan yang dilakukan dalam suatu kawasan hijau,” ujar Lanang Perbawa.***