Dilematik Implementasi Pelarangan Kepala Desa atau Sebutan lain dalam Partisipasi Pemilu

Penulis:
I Wayan Wahyu Wira Udytama, S.H., M.H.
Dosen Fakultas Hukum
Universitas Mahasaraswati Denpasar

Pemilu di Indonesia merupakan hajatan besar rakyat Indonesia yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali untuk memilih pemimpin, baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah.

Sehingga, sebaiknya masyarakat berpartisipasi aktif dalam hajatan demokrasi untuk memilih pemimpin yang akan memimpin selama 5 tahun ke depan.

Pada hakekatnya, seluruh rakyat Indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam hukum dan pemerintahan, serta tertuang pula dalam konstitusi Indonesia bahwa warga negara berhak untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat di depan umum.

Indonesia negara yang majemuk, selain terdiri dari teritorial yang bersifat administratif, juga banyak wilayah-wilayah adat yang tersebar di seluruh Indonesia.

Pengakuan wilayah adat pula sudah dilindungi oleh konstitusi Indonesia, salah satunya berkaitan dengan masalah pemilu yang seluruh lapisan masyarakat terlibat di dalamnya, tidak membedakan atas gender, pekerjaan, status sosial dsb

Namun dibatasi partisipasi aktif dari masyarakat yang berprofesi sebagai anggota aktif TNI/POLRI dan Aparatur Sipil Negara/ASN di semua tingkatan sampai dengan kepala desa.

Dalam pengaturanya disebutkan bahwa anggota aktif TNI/POLRI dan ASN sampai dengan kepala desa atau sebutan lain tidak diperkenankan untuk menduduki posisi sebagai pengurus partai politik.

Di sana sudah jelas, bahwa profesi yang disebutkan di atas tidak diperbolehkan untuk menjadi pengurus partai politik. Yang menjadi polemik dalam masyarakat adalah frase “kepala desa atau sebutan lain”, karena seperti yang kita ketahui bersama wilayah Indonesia bukan hanya wilayah administratif, tapi juga wilayah adat dengan pemimpin yang berbeda.

Muncul pertanyaan “Apakah boleh seseorang kepala adat untuk menjadi seorang pengurus partai politik?”.

Menyikapi hal tersebut, kita perlu memisahkan terlebih dulu kewenangan dan fungsi dari pemimpin antara desa administratif yang dipimpin oleh kepala desa atau sebutan lain, dengan pemimpin di desa adat yang dipimpin oleh ketua adat/tetua adat atau sebutan lain di wilayah adat masing-masing.

Pengaturan yang muncul terkait dengan pemilihan umum tentunya berlaku secara nasional sehingga menggunakan perangkat hukum dengan skema peraturan perundang-undangan.

Sehingga ikatan dalam peraturan tersebut, mengikat secara administratif kenegaraan, yang mana aparatur negara yang terlibat di dalamnya dimulai dari pemimpin negara dalam hal ini presiden sampai dengan kepala desa atau sebutan lain di wilayah terendah dalam skema sistem pemerintahan wilayah administratif. Tentunya hal ini terdata dalam struktur pemerintahan secara nasional.

Dalam pengaturan yang menjadi polemik tersebut, menurut hemat saya yang dilarang sebagai pengurus partai politik adalah kepala desa atau sebutan lain dalam skema desa administratif bukan desa adat, karena kepala adat merupakan pimpinan di desa adat yang bersifat otonom dengan kewenangan di bidang terkait dengan adat istiadat di wilayah adat yang bersangkutan, dimana kepala adat dalam menjalankan tugas kewenangan dan fungsi adalah mengatur masalah keseimbangan antara atau harmonisasi di wilayah masing-masing, sehingga dalam kesimpulanya kepala adat atau perangkat desa adat masih dimungkinkan untuk menjadi pengurus partai politik, anggota partai politik sampai mencalonkan diri atau dicalonkan sepanjang tidak bertentangan dengan pengaturan regulasi di desa adat masing-masing.(*)