Opini:
Dewa Ayu Agung Manik Oktariani
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Dwijendra University
Pidana berasal kata straf (Belanda), sering disebut dengan istilah hukuman.
Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari recht.
Dapat dikatakan istilah pidana dalam arti sempit adalah berkaitan dengan hukum pidana.
Pidana didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana.
Secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai tindak pidana (strafbaar feit).
Hukum pidana objektif adalah seluruh peraturan yang memuat larangan-larangan terhadap pelanggar peraturan itu diancam dengan pidana.
Menurut Prof. Moeljatno S.H., Tindak Pidana (strafbaar feit) adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan dimana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi siapa saja yang melanggar aturan tersebut.
Tindak Pidana pemilu adalah hukum pidana khusus pemilu yang diatur dalam undang-undang khusus tentang Kepemiluan dalam Undang -Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan umum pada Pasal 280, ayat :
(1) Pelaksana, peserta, dan tim Kampanye Pemilu dilarang:
a. mempersoalkan dasar negara Pancasila, Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau Peserta Pemilu yang lain;
d. menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat;
e. mengganggu ketertiban umum;
f. mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada
seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan/atau Peserta Pemilu yang lain;
g. merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye Peserta Pemilu;
h. menggunakan fasilitas pemerintah, tempatibadah, dan tempat pendidikan;
i. membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut selain dari tanda
gambar dan/atau atribut Peserta Pemilu yang bersangkutan; dan
j. menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta Kampanye Pemilu.
(2) Pelaksana dan/atau tim kampanye dalam kegiatan Kampanye Pemilu dilarang mengikutsertakan:
a. Ketua, wakil ketua, ketua muda, hakim agung pada Mahkamah Agung, dan hakim pada semua badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, dan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi;
b. Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
c. gubernur, deputi gubernur senior, dan deputi gubernur Bank Indonesia;
d. direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah;
e. pejabat negara bukan anggota partai politik yang menjabat sebagai pimpinan di lembaga
nonstruktural;
f. aparatur sipil negara;
g. anggota Tentara Nasional Indonesia dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia;
h. kepala desa;
i. perangkat desa;
j. anggota badan permusyawaratan desa; dan
k. Warga Negara Indonesia yang tidak memiliki hak memilih.
(3) Setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang ikut serta sebagai pelaksana dan tim Kampanye Pemilu.
(4) Pelanggaran terhadap larangan ketentuan pada ayat (1) huruf c, huruf f, huruf g, huruf i, dan
huruf j, dan ayat (2) merupakan tindak pidana Pemilu.
Dalam larangan Kempanye Pasal 280 ayat ayat 1 yang mengandung unsur Pidana Pemilu harus memperhatikan pasal 4 yang secara limitative mengatur dan membatasi larangan kampanye pemilu yang diberi sanksi pidana pemilu.***