Denpasar, Porosinformatif| Jaringan Jurnalis Peduli Sampah (J2PS) Provinsi Bali kembali menggelar konfrensi pers dan focus discussion group terkait Bali Darurat Sampah.
Kegiatan yang dilaksanakan di Kantor Perwakilan Bisnis Indonesia Denpasar ini mendatangkan dua narasumber yang ahli di bidangnya.
Ahli Oseanografi asal Universitas Udayana I Gede Hendrawan, Phd. sebagai narasumber pertama mengatakan, pada tahun 2019, pihaknya di Unud melakukan kajian, bahwa jumlah sampah yang dihasilkan masyarakat Bali itu sendiri 4200 ton lebih per hari.
“Dan hanya 42% di kelola. 5% yang masuk dipengelolaan, sedang sisanya masuk ke TPA,” ujarnya, Kamis (16/3/2023).
“Saat itu, sebelum Pergub larangan sekali pakai dilaksanakan,” katanya menambahkan.
“Kalau kita lihat jenis sampahnya, 70% sampah plastik dan sisanya organik,” tuturnya.
Sampah-sampah tersebut, menurut Hendrawan ditemukan di saluran air.
“Apa yang terjadi setelah adanya data ini di tahun 2019. Ada progres tidak?,” tanyanya.
Kemudian, dikatakannya juga, jika berbicara sampah di Pantai Kuta, sampah laut, merupakan sampah kiriman.
“Pantai Kuta nasibnya memang konvergensi. Kenapa dulu 20 tahun lalu tidak bermasalah, karena media belum banyak. Dan juga air yang masuk ke selat Bali tidak ada sampah yang dibawa,” ungkapnya.
Ketika massa air tidak ada penumpangnya, “maka Pantai Kuta tidak ada sampah,” menurutnya.
“Kalo kami kaji, dari tahun 2014, hasil kajian kami, di selat Bali memiliki pola arus dari Samudera Hindia menyisir Jawa Timur kemudian belok di Bali. Dan Kuta seperti cekungan, sehingga oleh angin terbawa ke Kuta sampah-sampah tersebut,” terangnya.
“Jadi kalo saya bilang, ini kuncinya ada di sungai. Kalo ke hulu lagi, kuncinya ada di masyarakat,” jelasnya.
Sampah yang ada di Pantai Kuta, masih kata Hendrawan tidak hanya dari luar Bali. Bali juga menyumbang adanya sampah yang ada di Pantai Kuta.
“2014-2015 kami lakukan pendataan di pantai Kuta terkait sampah selama periodik, 60-70%adalah sampah plastik,” katanya menegaskan.
“Sampah plastik inilah yang mengkhawatirkan untuk kita,” ungkap Hendrawan.
“Kenapa mengkhawatirkan? Kita bicara mikroplastik, ini kan tidak bisa kita lihat dengan kasat mata,” katanya.
“Dan sampah mikroplastik ini, dia punya kemampuan menyerap bahan-bahan kimia atau berbahaya. Dia akan mengabsrobsi dan masuk ke habitat (dikonsumsi) ikan atau berkoloni dengan zooplankton, maka ikan-ikan yang kita konsumsi akan mengandung bahan kimia berbahaya,” jelasnya.
“Analogi, bayangkan kalau itu juga mengkontaminasi ibu hamil, ibu menyusui, maka bayi yang lahir pun akan bisa terkontaminasi,” tuturnya.
Sementara, Ketua Asosiasi Pengusaha Sampah Indonesia (APSI) Putu Ivan Yunatana yang menjadi narasumber kedua lebih menekankan kepada literasi terkait keseriusan dan komitmen seluruh pihak dalam mengelola sampah.
Undang-Undang nomor 18 Tahun 2008 tentang sampah ini sebenarnya suatu regulasi yang sudah sangat baik.
“Namun sayangnya eksekusi di lapangan belum terlalu maksimal,” kata Ivan.
Ia menegaskan bahwa tanggung jawab terkait bekas kemasan plastik bukan hanya pada produsen semata, melainkan semua pihak termasuk mulai dari masyarakatnya.***